DiskusiInternasional

MAP Corner – Klub MKP : Hanya “Kutukan” Minyak? Rohingya Dan Formasi Negara Di Myanmar

Rohingnya 1Diskusi di MAP Corner, yang digelar pada Kamis, 28 Mei 2015, kali ini cukup menarik, karena pemantik, Hasrul Hanif—Dosen Jurusan Politik Pemerintahan UGM, menguliti kondisi tanah Myanmar melalui pendekatan ekonomi-politik. Berikut ini aku sajikan hasil liputanku terkait dengan jalannya diskusi tersebut. Liputan ini hanya garis besarnya saja. Karena untuk meliput semuanya akan membuat hasil liputan ini dijejali oleh barisan kalimat dan paragraf yang panjang sekali. Dan, mungkin akan membuat lelah pembacanya.

Presentasi dari Hasrul Hanif

Selamat sore. Assalamualaikum Wr. Wb.

Ketika teman-teman mengontak saya, dan meminta saya menjadi pemantik tentang Rohingya dan minyak, ada dua hal yang muncul dibenak saya. Pertama, ini menarik, karena pembicaraan tentang Rohingya selalu dikaitkan dengan berbagai issue. Dalam diskusi kali ini saya hanya membatasi diri hanya pada Rohingya dilihat dari sudut pandang ekonomi-politik, bukan pengungsinya. Rohingya, saat ini, sedang menjadi obyek bola pingpong di kawasan Asia Tenggara, mereka saling menyalahkan antara satu sama lain—tampaknya hanya orang Aceh yang bersedia dan perduli pada pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar ini. Kata Nezar Patria, “karena bangsa-bangsa yang pernah tertindaslah yang bersedia membuka diri pada bangsa-bangsa lain yang tertindas.” Kira-kira begitu.

Pembicaraan ini menarik, karena tadi, pembicaraan orang tentang Rohingya biasanya ditarik dari sentimen agama. Menarik hal ini, nanti kita diskusikan, apakah benar problem yang ada di Myanmar itu dipicu oleh sentimen agama? Agama, menurut saya, adalah pisau bermata dua, di satu sisi dia dapat mendamaikan, namun di sisi lainnya dia dapat menjadi pemicu konflik yang tajam antar umat manusia. Tapi saya tidak akan berbicara itu lebih jauh.

Yang kedua, orang membicarakan problem Rohingya dari kacamata ekonomi-politik, Myanmar sebagai sebuah negara yang bergerak dan mempengaruhi geopolitik Asia Tenggara.

Masuk Myanmar, menurut saya, adalah sesuatu yang tidak mudah, anda akan masuk ke dalam sebuah negara yang tertutup. Saya merasa diuntungkan, karena di UGM, untuk dua tahun ini, masuk dalam anggota Asia Pasifik. Namun demikian, ketika kita bergabung dengan Asia Pasifik dan bertemu dengan anggota-anggota dari Myanmar tidak mudah untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang apa yang sedang terjadi di Myanmar, karena anggota-anggota dari Myanmar itu berasal dari “plat Merah” atau think tank-nya junta militer di Myanmar.

Oleh karena itulah, saya akan mengajak anda berbicara lebih jauh. Mengapa saya mengatakan kutukan minyak? Atau kutukan sumber daya alam migas? Mengapat kutukan, karena “ayam mati di lumbung padi.” Coba anda sebutkan, negara mana atau daerah mana di Indonesia yang kaya sumber daya alamnya, masyarakat setempatnya sejahtera? Tidak ada! Kalau pun ada, hanya sedikit yang bisa kita hitung dengan jari. Oleh karena itulah, sebagian ahli ekonomi-politik ini menyebutnya sebagai curse (kutukan). Konflik yang paling tinggi intensitasnya di suatu negara, biasanya terjadi di negara-negara yang paling banyak sumber kekayaan alamnya, terutama di Afrika, seperti Angola dan Nigeria.

Daerah-daerah yang meminta memisahkan diri dari negara yang menaunginya biasanya didasarkan kepada alasan, bahwa mereka tidak pernah sejahtera walaupun daerah mereka kaya akan sumber daya alam.

Apa yang menarik dari Rohingya? Jawabannya, pemipaan minyak yang dilakukan di Myanmar bukan berujung pada Myanmar, tetapi berujung di Cina. Ketika orang membicarakan penyelesaian masalah pengungsi Rohingya, kemudian orang hanya menyoroti peranan Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Indonesia untuk duduk bersama, orang lupa di Myanmar ada kekuatan korporasi besar yang sedang bercokol di Myanmar, yakni korporasi ekstraksi Cina.

Di Myanmar ada pipeline (jalur pipa minyak) yang menghubungkan antara pipeline Timur Tengah dan Cina. Cina, pada saat ini, demi untuk kepentingan minyak sedang melakukan ekspansi kemana-mana. Cina dengan demikian sedang sangat membutuhkan jalur-jalur minyak atau pipelineyang dihubungkan dari Myanmar. Pipeline ini terhubung dari karaken ke kunming. Di daerah inilah komunitas atau etnis Rohingya bermukim atau bertempat tinggal. Dari sini muncul pertanyaan, seandainya saja yang bertempat tinggal di daerah itu bukan etnis Rohingya, tetapi etnis, katakan saja, Burma, apakah etnis ini akan didiamkan begitu saja? Jawabannya, tidak. Etnis ini akan dihabisi, karena kepentingan Myanmar dan korporasi asing, terutama Cina, memiliki kepentingan terhadap pipeline di daerah ini. Saya ulangi sekali lagi, di daerah itu, yang bertempat tinggal adalah etnis dari Rohingya.

Pada tahun 1990an ada perdebatan di Indonesia, “kira-kira L.B. Moerdani akan menghabisi Timor Leste ga, karen Moerdani adalah seorang Katolik?” Jawabanya, Moerdani akan tetapi menghabisi Timor Leste karena ada kekuatan negara yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah Timor Leste.

Lagi-lagi anda boleh sepakat atau tidak sepakat dengan argumentasi saya, tetapi nanti kita bisa melihat, apa tujuang dari dibuatnya pipa ini? Adagrand picture pipeline yang sangat menarik untuk dicermati. Myanmar sangat membutuhkan investasi-investasi dari perusahaan asing. Adapun perusahaan yang berinvestasi di Myanmar diantaranya adalah perusahaan dari Prancis, Total. Anda bisa melihat, kenapa Prancis selalu berkepentingan dengan Myanmar. Pada saat ini Total adalah perusahaan yang paling intens bernegosiasi dengan Junta Militer di Myanmar.

Pada saat ini Junta Militer di Myanmar sedang membuka diri terhadap pintu investasi dari luar negeri lebih luas. Salah satu perusahaan asing yang masuk ke Myanmar adalah Cina. Petro Cina, yang juga di Indonesia beroperasi di Bojonegoro, masuk ke Myanmar. Pada tahun 2008 antara Myanmar dan Cina mengadakan perjanjian untuk membangun pipeline. Yang menarik di sini adalah, pembangunan pipeline ini melewati 21 daerah, yang diantaranya sangat rawan konflik etnis.

Pada saat pembangunan pipeline dilakukan ada sekitar 400 orang yang protes terhadap pembangunan itu. Mereka protes karena tidak diajak bernegosiasi terhadap proyek tersebut. Karena dalam ketentuannya, seharusnya mereka diajak bernegosiasi, dimintai persetujuannya terhadap suatu proyek yang bersinggungan dengan hajat hidup mereka. Jadi, pembangunan pipeline, seharusnya tidak dilaksanakan karena persetujuan masyarakat setempat di bawah senjata, tetapi berdasarkan musyawarah. Nah, inilah yang terjadi dalam kasus Rembang di Indonesia, masyarakat setempat tidak diajak bernegosiasi-berembug tetapi rekomendasi hanya datang dari para ahli dari UGM.

Ada duit besar dalam pembangunan pipeline tersebut, investasinya sebesar 5 milyar dollar Amerika Serikat. Jarak pemipaan sekitar 800 kilo meter. Dari proyek ini, ada kompensasi besar yang akan diperoleh oleh Junta Militer Myanmar.

Dulu Myanmar sangat bergantung kepada Thailand. Namun, ketika Myanmar membuka diri bagi investasi dari perusahaan asing lainnya, misalnya Prancis-Total atau Cina bermain di situ, dari investasi asing selain Thailand inilah Junta Militer Myanmar mendapatkan pemasukan finansial yang sangat besar. Myanmar membuka diri untuk investasi dari perusahaan asing dimulai sejak tahun 2011.

Ketika Myanmar membuka diri untuk investasi dari luar, para korporasi asing lebih tertarik pada offshore bukan pada onshore. Jadi, mereka, para korporasi asing itu, merasa ada cadangan besar mineral di offshore.

Di Myanmar ada China Oil Offshore Company (COOC), Korea and Myanmar Devolepment Company (KMDC), korporasi-korporasi inilah, meminjam istiliah Mohtar Mas’ud, adalah “angsa besar”yang sedang bercokol di Myanmar. Dulu hanya ada 2 angsa besar, yakni Korea dan Jepang, tapi sekarang bertambah satu, yakni Cina sebagai pemain yang sangat berkepentingan terhadap Asia Tenggara. Jadi, ini sangat penting dalam konteks ekonomi-politik.

Poin saya adalah, pertanyaannya, apakah betul yang teradi Myanmar itu sebagai petro state? Myanmar itu penting karena dia punya cadangan minyak? Jawabannya, ternyata Myanmar itu tidak penting-penting amat dalam konstelasi ekonomi-politik migas. Walau pun Myanmar lebih dari 25% adalah pemasok sumber daya alam, Myanmar tidak terlalu penting dalam ekonomi-politik migas.

Yang menarik dari Myanmar adalah kondisi geopolitiknya. Dimana menariknya? Pertama, Cina berkepentingan terhadap pipeline. Melalui pipelineinilah Cina dapat menjalin hubungan yang lebih baik dengan Pakistan. Pakistan pada saat ini sedang sibuk mengurusi kaum fundamentalis, yang dinilai sangat berbahaya bagi keamanan pipeline. Misalnya, saja tiba-tiba pipeline dikuasai oleh Taliban, bisa runyam urusannya.

Saya perlu jelaskan, bahwa bisnis minyak tidak seperti halnya bisnis komiditi lainnya, yakni profitnya diperoleh dari penawaran dan permintaan dari konsumen, misalnya suplai banyak lalu harganya turun, suplai turun harganya naik. Tidak seperti itu. Dalam bisnis migas, yang menentukan adalah kondisi politik, misalnya tiba-tiba Arab Saudi menyerang Myanmar, itu harga minyak akan langsung naik. Atau tiba-tiba Isis menguasai suatu wilayah di Irak itu akan mempengaruhi harga minyak. Yang unik dari bisnis minyak ini bukan penawaran-permintaan tetapi bisnis ini adalah bersifat kartel sehingga tidak imun dengan kondisi politik. Dengan kata lain, tidak ada kompetisi pasar dalam bisnis migas.

Burma adalah etnis mayoritas di Myanmar. Semenjak Burma merdeka dari kolonialis Inggris terjadi perang etnis yang tidak selesai sampai dengan saat ini. Burma adalah mayoritas etnis yang berhasil meraih tampuk kekuasaan ditingkatan negara. Jadi negara Myanmar adalah negara yang dikuasai oleh kelompok mayoritas etnis. Mayoritas etnis ini menguasai birokrasi, tentara, dan simbol-simbol negara.

Diskusi

Pertanyaan 1 (Filsafat UGM):

Saya setelah mendapatkan pemaparan dari Pak Hasrul Hanif terbelalak, karena dibalik isu-isu ini terdapat serikat kapitalis untuk mencari keuntungan. Namun, ada sisi yang manarik dari isu ini, yakni, tentang CSR (pertanggungjawaban sosial korporasi). Apakah peranan CSR tidak bisa menyelesaikan permasalah-permasalahan yang telah diulas oleh Pak Hasrul Hanif tersebut?

Pertanyaan 2 (Isman):

Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya. Dalam amatan saya, dari berbagai literatur yang saya pelajari, sebelum junta militer Myanmar memegang tampuk kekuasaan ada gerakan komunis burma yang berusaha merongrong (baca: menumbangkan) rezim yang sedang berjalan pada saat itu. Untuk mengatasi gerakan komunis yang dianggap meresahkan ini, kemudian pemerintah menyelesaikannya dengan menggunakan pendekatan militer. Melalui pendekatan militer inilah gerakan komunis Burma dihancurkan oleh pemerintah.

Dari data yang saya peroleh, komposisi pra dan pasca pengedepanan strategi militer untuk menghancurkan gerakan komunis di Myanmar, mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 1949 tercatat jumlah militer di Myanmar adalah 2000 tentara, namun ketika gerakan militer dikedepankan untuk menyelesaikan masalah di Myanmar menanjak pada tahun 1955 berjumlah 40.000, dan ketika kudeta militer dilakukan jumlahnya membengkak pada taun 1962, menjadi 104.200 tentara.

Semakin bertambah “kuatnya” militer ini sangat efektif untuk menghancurkan gerakan komunis pada waktu itu.

Dalam perkembangan selanjutnya, untuk memuluskan Junta Militer membangun Kapitalisme Negara, Militer tidak hanya menghancurkan gerakan komunis, tetapi juga mendiskriminasikan etnis minoritas, dalam hal ini Rohingya. Tindakan ini dilakukan oleh Junta Militer, dalam pengamatan saya, untuk menciptakan buruh-buruh murah. Melalui mekanisme diskriminasi inilah etnis Rohingya diposisikan sebagai bukan warganegara Myanmar dan oleh karena itulah mereka dapat dipekerjakan secara paksa, dengan upah yang sangat rendah, dan bahkan mereka tidak diupah sama-sekali.

Tidak hanya tindakan diskriminasi. Tindakan lebih jauh lagi lainnya adalah, demi untuk “meratakan” jalan bagi kepentingan pembangunan kapitalisme negara, Junta Militer juga memaksakan agama budha untuk dianut oleh etnis-etnis minoritas, terutama etnis Rohingya yang beragama islam. Berangkat dari sini, kita patut untuk bertanya, di Myanmar bukankah tidak hanya agama Budha saja yang eksis tetapi ada agama kristen, katolik, dan islam? Tetapi mengapa yang dipilih oleh Junta Militer sebagai agama yang dipaksanakan dipeluk oleh etnis tertindas adalah agama budha? Jawabannya, hal itu dilakukan oleh Junta Militer Myanmar, karena di dalam ajaran agama Budha terdapat hierarki status sosial manusia, yakni Brahmana, Ksatria, dan Sudra. Melalui hierarki inilah Junta Militer (baca: kapitalisme negara) akan mudah untuk menghegemoni/menundukkan etnis Myanmar. Dengan demikian pula, kapitalisme negara akan lebih mudah menghegemoni atau menundukkan tanpa perlawanan etnis-etnis minoritas dan mayoritas sekalipun.

Dalam kenyataannya melalui strategi penindasan tersebut Kapitalisme Negara di bawah Junta Militer dapat berjalan dengan baik. Namun, dalam perkembangannya, Kapitalisme Negara, yang pada awalnya tertutup, membuka diri terhadap investasi dari bangsa asing. Nah, dari sini kemudian muncul pertanyaan dari saya, apakah dengan Junta Militer Myanmar membuka diri itu menunjukkan Kapitalisme Negara ala Myanmar sudah bangkrut? Itu pertanyaan yang pertama. Pertanyaan yang kedua, jika Pak Hasrul Hanif berpikiran negatif dengan peranan CSR, lalu solusi apa yang lebih baik untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh korporasi?

Demikian pertanyaan dari saya. Terima kasih.

Pertanyaan 3 (Barra):

Petro Cina yang Pak Hasrul Hanif sebut-sebutkan tersebut, itu kami istilah dengan Petro Singkek he..he..he.. Pertanyaannya begini, Pak. Apakah yang terjadi itu konflik etnis atau karena memang negara sendiri itu belum selesai?

Pertanyaan 4 (Afgan):

Dari pemaparan dari Pak Hanif tadi, sebenarnya saya menunggu pelaku-pelaku di dalamnya. Bukan hanya pelaku-pelaku yang ada di luar, siapa-siapa saja yang ada dan berkepentingan di situ. Tapi saya mengharapkan mereka itu siapa dan mereka mendapatkan apa di dalam.

Mereka-mereka ini penting untuk diketahui, karena seperti zaman Soeharto (orde baru) kita tahu siapa-siapa saja yang mendapatkan konsesi minyak, dan pejabat-pejabat siapa saja yang bermain di sana, dan kemana saja bagi-bagi rezeki itu mengalir. Itu jelas, selalu patronnya adalah cendana. Saya melihat, yang pernah terjadi di Indonesia, bisa jadi terjadi di Myanmar.

Respon dari Hasrul Hanif

Pesimis Terhadap CSR (Pertanggungjawaban Sosial Korporasi)

Berbicara tentang CSR (Corporate Social Responsibility) itu sangat menarik. Nah, kita mau bicara CSR secara normatif atau secara praktek?

CSR ini adalah pengejawantahan dari wacana kedermawanan perusahaan. Ini sebenarnya tidak masuk dalam hukum-logika ekonomi. Kenapa? Karena perusahaan telah memenuhi kewajibannya lewat pajak. Dan, dari pajak itulah, yang kemudian digunakan oleh negara untuk katanya kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Kesejahteraan itu bukan tanggung jawab perusahaan! Tapi tanggung jawab negara. Negara memastikan masyarakatnya sejahtera.

Kalau normatifnya, CSR ini dijadikan settingan untuk pemberdayaan. Kira-kira itu.

Ini kan, begini, Pak. Ada yang namanya impact—dampak yang diakibatkan oleh aktivitas. Dampak yang selalu digembar-gemborkan oleh perusahaankan hanya dampak bagusnya saja, bukan dampak buruk dari perusahaan itu. Nah, secara de facto, yang terjadi kemudian alih-alih secara normatifnya diproyeksikan sebagai pemberdayaan masyarakat, namun dalam prakteknya CSR tidak lebih hanyalah upaya penjinakkan. Kalau perusahaan menggunakan tiga ketegori. Pertama, ring satu (menurut perusahaan) adalah masyarakat kita. Dalam ring satu ini, CSR digunakan agar masyarakat kita tidak macam-macam (mengganggu kepentingan anarkis perusahaan-pen.). Contohnya, di Indonesia ada salah satu perusahaan minerba, yakni Newmont. Newmont ini menggelontorkan dana CSR-nya untuk menyewa preman-preman di wilayah tertentu—tempat beroperasinya Newmont. Hal itu dilakukan agar dalam operasinya Newmont tidak terganggu.

Biasanya, pipeline semakin dekat ke Singapura semakin bocor. Tidak itu saja, premannya pun juga semakin besar. Preman yang saya maksud di sini adalah preman berseragam.

Praktek yang kedua, seringkali setting CSR terkait dengan pemerintah daerah. CSR ini digunakan untuk menyuap pemerintah daerah tempat perusahaan beroperasi agar dalam beroperasi perusahaan memiliki jaminan keamanan.

Dan yang ketiga, CSR ini sebenarnya hanya sebagai branding perusahaan. Melalui branding inilah perusahaan memanipulasi kesadaran massa rakyat. Itu mengapa Chevron mempunyai branding yang bagus, itu bagian dari CSR itu. Branding ini penting bagi perusahaan untuk difungsikan sebagai alat hegemoni terhadap kesadaran massa rakyat.

Saya pernah ngobrol dengan salah satu personil dari perusahaan migas. Dari obrolan itu saya mendapatkan informasi, untuk melakukan penjinakan masyarakat, perusahaan memetakan terlebih dahulu tingkat yang membayakan bagi perusahaan. Ditingkat yang paling membahayakan itulah dana CSR digunakan untuk menyuap/sogok (graft). Misalnya, kepala desa berbahaya, segera perusahaan mengirimkan wakilnya, dan kemudian membungkam kepala desa dengan dana CSR.

Saya jujur saja. Terus terang saya psimis terhadap logika CSR. Karena melalui logika CSR inilah, sebenarnya negara berusaha mendisiplinkan perusahaan. Melalui CSR inilah negara memaksa perusahaan untuk berperilaku dermawan.

Untuk dunia bisnis migas CSR itu omong kosong. Karena dalam bisnis ekstraktif ini perusahaan langsung bersentuhan dengan eksploitasi alam dan perusakan alam yang solusinya tidak bisa ditangani oleh CSR.

Dalam prakteknya CSR ini dijadikan obyek rent seeking. Rent seeking adalah mendapatkan keuntungan dari “roti” tanpa mengurangi roti itu sendiri. Dalam hal ini perusahaan yang mengeluarkan dana, akan bersedia mengeluarkan dana tersebut apabila keuntungan dari perusahaan tidak terganggu. Misalnya, dari 600 ribu barel perhari yang diimpor oleh Indonesia kita mengambil satu dolar perbarel saja, sudah enam ratus ribu dolar perbarel yang kita peroleh. Kita hanya duduk-duduk saja dan memainkan harga minyak. Belum lagi ketika pembayaran dilakukan, nilai tukar dolar dan rupiah itu dimainkan juga oleh para pemain rent seeking.

Mempolitisasi Militer, Etnis, dan Agama

Menarik pertanyaan poin pertama, yang diajukan oleh Mas Isman, dan pertanyaan lainnya, yang mengikuti saling terkait.

Pertama, untuk memahami Myanmar kita harus melihat bagaimana transformasi yang terjadi di Asia Tenggara, misalnya Indonesia atau Korea Selatan.

Sebenarnya ada satu negara yang sangat mirip dengan Indonesia, yakni Nigeria. Mayoritas muslim, multi-etnik, dan kaya akan sumber daya alam. Yang satunya terjebak, dan berperang terus-menerus, dan yang satunya lagi berhasil keluar dari jebakan itu.

Kalau anda lihat pada tahun 1960an-1970an rezim yang berkuasa di Asia Tenggara adalah rezim militer. Ada bersekongkolan antara militer-birokrasi-dan teknokrasi. Ini terjadi, baik itu di Indonesia, di Korea Selatan, maupun di Myanmar. Dan biasanya juga, mereka membangun aliansi atau persekongkolan ini dengan memulainya dengan anti-komunis.

Keantikomunisan dari negara-negara Asia Tenggara ini mendapatkan support yang sangat kuat dari negara-negara barat. Ada kombinasi antara militer yang anti-komunis dan islam yang anti-komunis. Dari sini kita dapat meraba bahkan melihat siapa yang bergerak dan terlibat terhadap pembantaian orang-orang komunis. Dan hal ini, pembantaian ini didukung penuh oleh rezim barat (imperialisme asing-pen.) pada saat itu.

Yah. Rezim militer yang berkuasa di negara-negara di Asia Tenggara ini, selalu ditandai dengan rezim yang anti-komunis. Karena pada saat itu gerakan komunis menjadi ancaman serius.

Saya rasa, perusahaan-perusahaan asing ini, terutama Amerika Serikat, sangat trauma terhadap peristiwa di Vietnam. Mereka—kaum imperialisme barat ini—mencegah sekuat mungkin jangan sampai ada komunis militan seperti yang ada di Vietnam yang tidak bisa dikalahkan, kecuali mereka bisa dikalahkan melalui film propaganda menyesatkan Rambo-nya. Kalau anda menonton film Rambo, Amerika Serikat selalu menang, namun dalam realitasnya Amerika Serikat tidak pernah menang. Ini yang menarik.

Persis seperti pertanyaan poin yang lainnya, saya belum pernah mempelajari formasi kelas di Myanmar. Namun, dari poin sebelumnya pertanyaan ini akan sangat nyambung.

Dalam kasus ini, kita melihat ada kelompok-kelompok sosial yang dapat di absorpsi (diserap-pen.) oleh negara. Menjadi bagian dari korporasi melalui skema yang dibuat oleh negara. Bagi kelompok-kelompok yang tidak bisa diabsorpsi akan ditindas bahkan dihabisi oleh negara.

Tidak hanya menindas dan menghabisi kelompok-kelompok yang mengganggu beroperasinya perusahaan. Tetapi juga, negara akan memilah-milah mana agama yang resmi dan agama yang tidak resmi. Agama yang tidak resmi, menurut negara, biasanya adalah negara yang mengganggu proses pembangunan korporasi. Misalnya, negara menentukan, bahwa agama itu harus punya tuhan, agama itu harus punya kitab suci, dan agama itu harus membuat umatnya beribadah. Nah, ketika ketika ada agama yang masuk dalam definisi itu, dia akan dianggap tidak modern. Yah. Hampir sama strateginya, yakni mengabsorpsi kekuatan mayoritas dan menindas minoritas, dan menghabisi kekuatan-kekuatan opoisi terhadap pemerintah dan korporasi.

Saya pernah bertemu dengan seorang aktivis dari Kamboja, yang juga mantan tentara. Pertama saya ngobrol, aktivis ini mengaku kepada saya, bahwa dia pernah belajar di SESKOAD (sekolah militer di Indonesia). Nah, embahnya dari aktivis ini ternyata ada di Indonesia.

Sebenarnya untuk membedah kondisi ekonomi-politik di suatu negara tidak cukup hanya menelisik keberagaman etnisnya. Tidak cukup. Kita harus bergerak lebih jauh dari kondisi kelas sosial yang ada.

Diliput Oleh Ismantoro Dwi Yuwono

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: