Diskusi

Alkinemokiye, Perlawanan Buruh Freeport Di Tanah Papua

Freeport PapuaMahasiswa adalah agen perubahan..!! (kawan dari Papua dan kawan dari KPO PRP—13 Mei 2015).

Bab I
Pemutaran Film dan Presentasi

Pada 13 Mei 2015—tepatnya hari Rabu pukul 18.00 (molor sampai 18.30)—di Kampus I Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta di selenggarakan nonton film bareng, berjudul “Alkinemokiye.” Tidak hanya nonton bareng sambil ngopi dan makan cemilan gratis, tetapi juga, setelah film itu selesai di putar, ada 3 presentator (baca: pemantik) yang mengomentari film tersebut. 3 komentator tersebut adalah kawan dari USD (Mahasiswa IRB), kamerad dari KPO PRP, dan kawan dari Papua.

Setelah komentar diberikan dari ke-3 pemantik, acara selanjutnya adalah ke-3 komentator ini harus berurusan dengan kawan-kawan yang hadir dalam acara tersebut (baca: diskusi). Ada 3 orang yang mengajukan pertanyaan dan tanggapan dalam diskusi itu.

Dalam acara tersebut, KPO PRP juga membuka lapak propaganda, menyediakan buku-buku kritis-kiri dengan harga yang rasional. Di lapak propaganda itu, juga disediakan oleh kawan-kawan mahasiswa USD setumpuk majalah edisi 001/Maret-April/2015 gratis. Majalah ini bernama “NATAS.” Sebuah majalah yang lahir dari Unit Kegiatan Pers Mahasiswa. Di dalam majalah ini menyoroti kinerja dari pemerintahan Jokowi. Di dalam sampul majalah tersebut tertulis: “100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK—Perasaan Tidak Puas akan selalu berpeluang muncul dalam diri masing-masing orang (rakyat), tapi pemerintah dan negara tetap berkewajiban untuk memberikan arah yang jelas dalam taraf pembangunan suatu bangsa yang adil bagi semua rakyat.”

Film dengan judul “Alkinemokiye” ini pernah dilarang pemutarannya di tempat lain. Peristiwa yang menunjukkan bahwa di Indonesia adalah pemangku Demokrasi palsu, demokrasi yang hanya digunakan sebagai pemenor bibir yang monyong. Kawan-kawan USD dengan prinsip mengusung Demokrasi yang tidak hanya lips service, memutar film ini dan mendiskusikannya bareng, sambil ngopi dan ngemil.

Di dalam film ini ditunjukkan terjadi perlawanan kaum buruh Freeport di tanah “yang tidak merdeka” Papua. Perlawanan yang dilakukan oleh kaum buruh adalah perlawanan dalam bentuk mogok kerja—aksi damai. Dalam aksi damai ini, buruh-buruh freeport tidak ada satu pun yang membawa senjata tajam, berperilaku anarkis, maupun provokatif. Dalam film ini pula, aksi ini dipicu oleh kondisi-kondisi kaum buruh yang mengenaskan di Freeport, diantaranya upah yang sangat kecil, tidak adanya perlindungan dalam bekerja sehingga banyak menyebabkan kecelakaan kerja dan dari kecelakaan kerja ini banyak buruh-buruh yang tewas, dan aparat represi polisi dan militer yang melakukan tindakan-tindakan brutal terhadap buruh-buruh freeport yang melakukan protes. Di dalam film tersebut di perlihatkan betapa polisi dan militer tanpa belas kasihan memukuli, menendang dengan sepatu militernya buruh dan orang-orang Papua dengan kejam, demi untuk mengamankan kepentingan modal Freeport.

Di dalam film itu ditunjukkan gaji buruh-buruh Freeport hanya 3 juta dan mentok sampai 5 juta per-bulan. Gaji 5 juta pun diperoleh oleh buruh setelah puluhan tahun melakukan “perjuangan eksistensi” di perusahaan Freeport. Sedangkan gaji petinggi-petinggi Freeport dan pemilik alat produksi luar biasa tidak rasional sangat tinggi, yakni, sebesar 8,1 milliar per-bulan. Dari sini, jelas, film ini menunjukkan betapa watak kapitalis dalam mengakumulasi modalnya dilakukan secara brutal. Menginjak sisi kemanusiaan manusia tanpa ampun dan mengerikan.

Di dalam film ini juga diperlihatkan, para pensiunan perusahaan Freeport tidak mendapatkan uang pensiunnya, mereka hanya mendapatkan uang privatisasi yang sangat kecil. Memang, ketika buruh-buruh Freeport bekerja, mereka mendapatkan lembaran surat berharga, yang bernama saham. Namun, surat berharga ini hanyalah tipuan semata untuk menjinakkan kaum buruh Freeport. Ketika buruh-buruh Freeport purna tugas dan kemudian mereka ingin menukarkan saham yang dimilikinya dengan uang, kaum buruh mendapatkan kenyataan kalau mereka sudah dibohongi, ditipu mentah-mentah, karena surat berharga itu tidak bisa ditukarkan dengan uang.

Itu kurang lebih kira-kira kisah dalam film dokumentar yang diputar di Student Hall, Kampus I USD. Setelah film diputar kawan dari USD, KPO PRP, dan kawan dari Papua pun memberikan ulasan.

Ulasan pertama disampaikan oleh kawan dari Papua. Kawan dari Papua mendeskripsikan sejarah dari masyarakat Papua. Pada awalnya massa rakyat Papua hidup dengan aman, damai, nyaman, dan tenang bersama dengan berbagai adat-istiadat yang mereka kembangkan. Namun, ketika imperialisme Freeport (baca: orang asing) datang ke tanah Papua, menetrasikan modalnya di sana, pada saat itulah kedamaian dan ketenangan masyarakat Papua diusik dan dirusak.

Namun, walau pun orang asing datang ke tanah Papua yang kemudian merusak ketenangan orang Papua, disisi lain dialektis kedatangan orang asing itu, menumbuhkan intelektual-intelektuan lokal massa rakyat Papua. Intelektual-intelektual inilah yang mendeklarasikan West Papua. Sementara itu Soekarno mendeklarasikan Trikora.

Ketika Freeport datang di tanah Papua, Freeport merusak tanah adat orang Amungme, melakukan eksploitasi tanpa batas hingga tandas. Anehnya, ketika antara Freeport dan Indonesia mengadakan negosiasi, yang kemudian hasil negosiasi ini melegalkan Freeport untuk merusak tanah Papua, massa rakyat Papua tidak diajak berembuk atau dimintakan kesepakatannya. Jadi, dalam hal ini pemerintah Indonesia sudah melakukan perilaku otoriter-menindas orang Papua.

Setelah kawan dari Papua memberikan ulasannya, ulasan kemudian diberikan kawan mahasiswa IRB dari USD. Menurut kawan dari USD ini film ini hanya menampilkan film tentang perburuhan. Film ini belum menampilkan dampak kerusakan lingkungan dari beroperasinya PT. Freeport di tanah Papua.

Keberadaan Freeport sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi-politik internasional yang dimainkan oleh Amerika Serikat pada saat itu. Keberadaan Freeport dan berbagai dampak buruknya itu adalah dampak dari siasat politik Amerika Serikat dalam menguasai sumber-sumber kekayaan alam di negara-negara “jajahannya.”
Bisnis tambang emas di Freeport tidak hanya mendorong Freeport melakukan eksploitasi di tanah Papua “yang tidak merdeka,” namun juga hal itu berdampak pada kemunculan bisnis militer. Freeport dalam hal ini selalau memberikan dana yang besar kepada militer untuk mengamankan daerah eksploitasinya di tanah Papua.

Ulasan selanjutnya diberikan oleh kamerad dari KPO PRP. KPO PRP menyoroti kesadaran kelas buruh dan membenangmerahkannya pada peranan Mahasiswa sebagai agen perubahan. Mengawali ulasannya kamerad dari KPO PRP, menyodorkan pertanyaan, seperti ini, “apa yang dimaksud dengan kesadaran kelas?” Lalu dijawab oleh kamerad, seperti ini, “Untuk memahami kesadaran kelas [buruh] kita harus mengetahui kondisi masyarakat setempat. Karena kesadaran kelas ditentukan oleh kondisi masyarakat yang bersangkutan.” Dalam konteks perburuhan di Freeport Papua, tadi film Alkinemokiye, sudah jelas menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat di tanah Papua, tempat Freeport mengeksploitasi sumber kekayaan alam di sana.

Menurut kamerad dari KPO PRP ini, 40 keluarga yang paling kaya menguasai 60% kekayaan nasional [Indonesia]—itu kapitalisme. Nah, bagaimana dia mendapatkan kekayaannya? Tidak lain, berasal dari merampas dari hak buruh itu sendiri. Upah buruh direndahin, uang keselamatan kerja enggak ada, uang pensiun enggak ada, dan segala macamnya.Dan hal ini ada semenjak kapitalisme itu ada, ketika alat produksi dikuasai oleh segelintir orang. Sedangkan kelas lainnya, kelas buruh, tidak mempunyai apapun, dia hanya mempunyai tenaga kerjanya. Tenaga kerjanya inilah yang kemudian dijual kepada kapitalis. Kelas pemilik alat produksi ini, biasanya disebut dengan kelas kapitalis. Sementara kelas yang menjual tenaga kerjanya disebut dengan kelas buruh.

Hubungan produksi antara kelas kapitalis dan kelas buruh inilah yang kemudian memunculkan konflik. Makanya, agak aneh, apabila ada orang yang bertanya, buruh maunya apa sih, dan segala macamnya, demo terus, demo terus?
Kalau buruh ingin sejahtera, buruh harus berkuasa, buruh harus mengambil alat produksi yang dimiliki oleh kelas yang berkuasa.

Tidak ada satu pun hak-hak yang sekarang dimiliki oleh buruh, itu hasil dari kebaikan hati dari pemilik modal. Ambil saja contohnya, antara lain, hak-hak terhadap kaum perempuan itu bukan hasil kebaikan hati pemilik modal, tetapi itu hasil dari perjuangan kaum perempuan dan massa rakyat. Begitu juga pengurangan jam kerja, bukanlah hasil kebaikanhati kelas kapitalis, tetapi hasil perjuangan buruh yang hingga sampai dengan saat ini kita rayakan dengan nama Mayday. Upah-upah buruh perempuan yang lebih baik, itu juga hasil perjuangan buruh bukan hasil dari kebaikan hati kelas kapitalis. Ringkasnya, hak-hak yang dimiliki oleh buruh dan massa rakyat, sampai dengan saat ini, adalah hasil dari konflik dan benturan yang terjadi antara kelas buruh-mass rakyat dan kelas kapitalis.
Dari konflik-konflik yang terjadi, maka terjadilah perkembangan kesadaran kelas di kalangan kaum buruh dan massa rakyat.

Penting untuk dicatat sejarah di Inggris dulu. Pada saat itu pekerja-pekerja yang disukai oleh kelas kapitalis adalah perempuan dan anak-anak. Kenapa? Karena mereka mudah untuk upah murah dan ditindas. Anak-anak dipekerjakan di perusahaan pertambangan, karena tubuh mereka kecil, dan oleh karenanya mereka mudah masuk ke dalam lorong-lorong atau gorong-gorong tambang yang dikeruk oleh perusahaan. Demikian pula halnya dengan nasib perempuan ketika itu, perempuan yang bekerja pada waktu itu dianggap bukan pencari nafkah, tetapi hanya sebagai pencari tambahan. Dan dengan alasan semacam inilah perempuan digaji sangat rendah, padahal pekerjaannya sama beratnya dengan buruh-buruh lelaki lainnya. Kondisi-kondisi yang tidak memanusiakan dari kelas buruh inilah, kemudian yang mendorong kelas buruh untuk menuntut hak-hak ekonomisnya; anak-anak jangan dipekerjakan, kaum perempuan mendapatkan upah yang layak, dan hak-hak yang lainnya, dan seterusnya, dan sebagainya.

Perjuangan buruh tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri atau secara individual. Oleh karena itu, buruh harus berorganisasi atau membentuk kelas, dalam bentuk berserikat. Dalam perkembangannya, untuk mensejahterakaan buruh secara permanen, perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh kelas buruh tidak hanya berhenti pada perjuangan yang bersifat ekonomis saja, tetapi diarahkan kepada perjuangan yang bersifat politik, yakni, merebut alat-alat produksi yang dikuasai oleh kelas kapitalis.

Bicara tentang aparatus negara, hukum, dan segala macamnya, ini juga termasuk dalam tatanan ekonomi. Negara dan hukum melindungi kelas yang berkuasa, yakni kelas kapitalis. Kadang-kadang kita berharap, polisi dan hukum melindungi massa rakyat dari kejahatan, dan segala macamnya. Namun, menurut saya, itu tidak ada! Kepentingan negara, kepentingan hukum, adalah kepentingan yang mempertahankan kelas yang berkuasa, kelas pemilik modal. Contoh konkretnya Undang-undang PHI tahun 2004 yang menyerahkan konflik antara buruh dan korporasi tanpa campur negara menunjukkan betapa negara lepas tangan terhadap kondisi buruh yang ditindas oleh korporasi. Dari sinilah, makanya, kenapa kelas buruh tidak boleh hanya berhenti pada kesadaran ekonomi, tetapi harus bergerak lebih maju ke tingkat kesadaran politik. Meningkatkan kesadaran buruh ini, tentunya diikuti oleh bentuk dari organisasi kelas buruh itu sendiri. Dari sinilah kemudian bermunculan partai-partai buruh yang memperjuangkan kepentingan politik kelas buruh.

Bagaimana peranan dari mahasiswa sebagai calon-calon buruh? Menurut kamerad dari KPO PRP ini, setelah mahasiswa-mahasiswa lulus dari perguruan tinggi, mereka tidak banyak diserap oleh korporasi, dalam bahasa Marxis, mereka-mereka yang tidak teserap ini diistilahkan dengan buruh cadangan (tentara cadangan industri-pen.). Nah, ketika banyak pengangguran, kelas kapitalis, akan semakin menurunkan upah buruh. Sebagai alumni mahasiswa kawan-kawab perlu mengetahun hak-hak kawan-kawan, nanti, sebagai buruh. Tapi, ada persoalan lain, diluar persoalan itu.

Menurut kamerad dari KPO PRP ini, Mahasiswa dan alumnis Mahasiswa seharusnya menggabungkan diri dalam partai-partai revolusioner untuk menghancurkan tatanan kapitalisme, dan kemudian menggantikannya dengan tatanan yang lebih baik. Dalam hal ini Mahasiswa harus memahami kondisi kelas buruh yang tertindas dan perilaku anarkis kapitalis. Tidak hanya memahami, menurut kamerad dari KPO PRP, Mahasiswa dan alumni Mahasiswa harus terlibat dalam perjuangan-perjuangan kelas; memperjuangkan bagaimana pendidikan bisa gratis dan memperjuangkan agar demokrasi bisa dilaksanakan dengan benar.

Mahasiswa memiliki kemampuan intelektual yang melampaui kelas buruh. Jadi, kelas buruh itu capek. Sangat capek. Bangun jam setengah 4 pagi, harus mengurusi rumah terlebih dahulu, dan kemudian naik transportasi ke pabrik, dan itupun mecet diperjalanan, sehingga kondisi seperti inilah yang menggiring kelas buruh tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan intelektualnya. Hal ini berbeda dengan Mahasiswa yang memiliki waktu luang untuk belajar dan mengembangkan intelektualnya. Maksudku bukan belajar di ruang kelas, dimana tidak ada teori-teori yang kritis di dalam ruang kelas perkuliahan, tetapi belajar bersama buruh dalam perjuangannya melawan kelas kapitalis.

Bab II
Diskusi dan Tanggapan

Tanggapan Pertama:

Penanggap pertama. Mengaku akan lebih banyak mengomentari, ketimbang mengajukan pertanyaan, berikut ini komentar dari penanggap yang, menurut pengakuannya, berasal dari Janti-Yogyakarta ini.
Tuntutan buruh yang sering muncul di media, itu lebih pada penayangan bagaimana gaji/upah buruh dinaikkan. Saya kira, yang penting itu adalah, ketika, yang patut kita pertimbangkan, bahwa, ada sesuatu yang, yakni sistem kapitalisme.

Menurut saya, hasrat terdalam dari manusia adalah, hasrat untuk bahagai, dan kebahagian ini hanya dapat diperoleh di dalam masyarakat yang berbahagia. Karena pada saat ini, dari apa yang telah disampaikan oleh kawan-kawan di depan, kita sulit untuk mendapatkan kebahagian, karena bagaimana mungkin kita akan bahagia kalau kapitalis, demi kepentingan modalnya, merusak kebahagian itu sendiri.

Yang menjadi catatan bagi saya, dan bagi kita semua, seharusnya, di dalam sistem kapitalisme, Mahasiswa ini akan berposisi seperti apa? Menjadi agen perubahan, atau justru menjadi obyek yang dirumah oleh sistem kapitalisme. Ini penting sekali.

Tanggapan dan Pertanyaan Kedua:

Tanggapan dan pertanyaan kedua disodorkan oleh peliput “nonton dan diskusi film Alkinemokiye” ini. Berikut ini tanggapan dan pertanyaan yang disodorkan itu.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Lisa Pease, terkuak fakta, bahwa Freeport yang pada saat ini beroperasi di Indonesia adalah korporasi internasional (TNC) yang terancam bangkrut—karena ada revolusi sosialis di Kuba. Melalui kapitalis Belanda yang berkongkalikong dengan kabir (kapitalis birokrat) Indonesia Freeport bisa masuk, dan memenetrasikan modalnya di Indonesia.

Ketika Freeport, pertama kali, beroperasi di Indonesia, sama seperti halnya di tempat-tempat lain, misalnya seperti terjadi di Inggeris dalam politik pengkaplingan, korporasi melapangkan jalan untuk memenetrasikan modalnya (akumulasi primitif) dengan cara-cara yang brutal. Tanah Papua ketika kedatangan Freeport, tidak hanya sumber kekayaan minerlnya dieksploitasi habis-habisan, tetapi juga alamnya dirusak secara permanen. Lihatnya contohnya sungai Ajkwa yang dicemari oleh limbah kimia (tailing) dari beroperasinya Freeport. Air yang mengalir disungai Ajkwa tercemar, merembes kemana-mana, merusak tumbuh-tumbuhan, dan meracuni mahlu-mahluk hidup di tanah Papua. Akibat kerusakan alam dalam bentuk racun ini, jutaan hewan dan manusia tewas.

Karena ulah dari imperialis Freeport inilah, tentu saja mendorong terjadinya perlawanan dari massa rakyat Papua. Ya. Tidak hanya buruh-buruhnya saja, massa rakyatnya pun berlawan.

Sepanjang pengamatan dari saya, perlawanan yang dilakukan oleh massa aksi di Papua, baru sebatas lokal-nasional. Artinya, belum dilakukan secara masif. Perlawan masif ini perlu dilakukan, untuk menumbangkan korporasi Freeport di tanah Papua. Tapi yang harus menjadi catatan adalah, perlawanan haruslah berbasis internasional, tidak hanya berbasis lokal maupun nasional saja. Kalau hal ini tidak dilakukan permasalah di tanah Papua dengan Freeportnya yang mengerikan itu tidak akan pernah terselesaikan. Kekerasan militer akan terus terjadi di tanah Papua. Pembunuhan 6 remaja di tanah Papua pada tahun 2014 menunjukkan bahwa permasalah ini jauh dari selesai.

Perjuangan nasional itu penting untuk mengusir neo-kolonialisme di Tanah Papua. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Lenin, bahwa perjuangan untuk membebaskan kaum proletar tidak hanya berhenti pada perjuangan yang bersifat nasional saja. Pencapaian kemenangan nasional, menurut Lenin, hanya alat saja menuju pembebasan proletar. Dengan kata lain pencapaikan kemenangan nasional bukan tujuan, tetapi alat dan masa transisi.
Korporasi Freeport adalah korporasi imperialis-transnasional yang tangan-tangannya menggurita kemana-mana, dan oleh sebab itulah perlawanannya pun harus bersifat masif-internasional. Perjuangan yang hanya berhenti pada tataran nasional saja tanpa dihubungkan dengan dengan perjuangan buruh secara internasional, perjuangan nasional akan terus dikalahkan. Di tanah Papua, saya melihatnya, perjuangan kawan-kawan buruh dan massa rakyat baru sebatas lokal-nasional, belum berskala masif. Berangkat dari sini, yang ingin tahu bagaimana perspektif dari kawan-kawan pembicara di depan merespon hal ini? Terima kasih.

Pertanyaan Ketiga dari [peserta] Kawan USD dari Papua

Film yang kita tonton ini pernah dilarang ditonton di tempat lain. Sedangkan di sini kita tonton dan diskusikan bersama. Saya hanya mau tanya, diskusi film ini akan dilanjutkan atau akan bubar? Ya. Begitu saja pertanyaan dari saya.

Tanggapan dari Para Pemantik

Kawan dari Papua:

Menurut kawan pembicara (pemantik) dari Papua, mengatakan, dalam konteks pembebasan nasional ini pembebasan nasional dalam konteks Indonesia atau yang bagaimana? Karena kalau dalam konteks Papua itu bukan dalam konteks lokal. Tetapi itu dalam konteks nasional, perjuangan nasional untuk mencapai pembebasan. Massa rakyat Papua berjuang untuk membangun tatanan sosialis di atas adat mereka.

Kebijakan pemerintah tentang penetrasi modal Freeport di Indonesia, menurut saya, adalah kebijakan pemerintah Indonesia pertama terhadap korporasi asing di Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967. Undang-undang ini lahir pada masa rezim Soeharto, setelah dia dilantik sebagai Presiden Indonesia setelah mendepak Soekarno. Artinya, akar dari kapitalisme di Indonesia, ya Freeport itu. Semua kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan masuknya imperialisme modal ke Indonesia mengacu pada kebijakan Freeport itu.

Neo-kolonialisme yang terjadi di Papua, tidak hanya mengeksploitasi dan merusak alam, tetapi juga hal itu menimbulkan usaha-usaha pemusnahanan ras melanesia, sebagaimana yang ditulis oleh seorang Socrates Sofyan Nyoman, tulisan atau buku yang dilarang penerbitannya oleh Kejaksaan Agung Indonesia.

Pada waktu itu ketika Pak Jokowi datang ke tanah Papua ada ribuan militer yang dikirim dari Jakarta ke Papua melalui helikopter. Saya bingun, ini sebenarnya ada apa di Papua? Papua adalah ladang perang bagi TNI. Papua dijadikan tempat latihan perang yang sudah diajarkan kepada TNI. Bagi saya, orang-orang Papua, dimata pemerintah Indonesia, bukan sebagai manusia tetapi sebagai binatang. Ali Murtopo, pernah berkata, “kami tidak butuh orang-orang Papua, yang kami butuhkan adalah tanah dan kekayaan alam Papua.” Perkataan dari Ali Murtopo inilah, yang sampai dengan saat ini, masih dipegang oleh militer di Indonesia dalam melakukan pendekatan di tanah Papua.

Dalam konteks perjuangan bersama, saya sepakat, kita perlu untuk bersatu imperialisme Freeport—kapitalisme internasional. Saya sangat tidak suka kalau ada orang yang membicarakan nasionalisasi, tapi nasionalisasi tersebut bukan untuk kepentingan Papua tetapi untuk kepentingan, misalnya, untuk Aburizal Bakrie (tawa peserta).
Tapi jangan sampai dalam konteks perjuangan bersama kita saling mengidentifikasi, bahwa ini orang Papua, ini orang Sumatera, ini orang Jawa, nah ini yang akan melemahkan perjuangan dan bankan menghancurkan perjuangan.

Penting untuk melakukan perjuangan secara masif, tetapi penting juga untuk menghargai Hak-Hak Asasi Manusia. Seperti itu.

Kawan dari KPO PRP

Berbicara peroalan kelas buruh. Benar tadi yang telah dilontarkan. Menurutku, kita tidak bisa memperbaiki kapitalisme, solusinya adalah membangun masyarakat baru. Persoalannya, kapitalisme itu tidak hanya di Indonesia, tetapi ada di seluruh dunia. Perang di Irak, Palestina, dan lain sebagainya itu konsekuensi dari kapitalisme internasional yang menggurita. Makanya, pembebasan kelas buruh untuk mencapai pembebasannya, itu juga memiliki konseksuensi harus memiliki karakter internasional. Dia tidak bisa, hanya kelas buruh di Indonesia saja yang memperjuangkannya, tetapi juga hal itu harus dilakukan bersama dengan kelas-kelas buruh di bagian dunia lainnya.

Nah, kalau, misalnya, kita ingin berbicara tentang persatuan kelas buruh itu bukan arti bagi-bagi jabatan dan lain sebagainya, bagi-bagi jatah dan segala macamnya. Tapi perjuangan kelas buruh haruslah dilandasi oleh demokrasi yang sebenar-benarnya.

Itu yang pertama, yang kedua, harus membangun tatanan masyarakat yang baru. Membangun bangsa, dan segala macamnya, itu juga harus berlandaskan demokrasi.

Tidak bisa ada persatuan antara kelas buruh di Freeport dan di tempat-tempat lainnya apabila persatuan ini dilandaskan pada penindasan. Kita harus membangun persatuan kelas buruh di atas prinsip-prinsip demokrasi.
Kelas buruh yang bersatu harus mengakui, hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Karena hanya dengan demikian, maka kelas buruh dan rakyat dari bangsa-bangsa yang tertindas akan melihat bahwa kelas buruh di Indonesia memang demokratis, kelas buruh di Indonesia memang memperjuangkan keseluruhan kepentingan kelas buruh, memperjuangkan rakyat secara keseluruhan.

Logika sederhana dari analogi negara yang bewargakenegaraan Indonesia dan kemudian melawan negara sebagai orang tuanya, adalah sebagai berikut: “Ketika orang tua memiliki anak, dan kemudian anaknya itu diperlakukan secara tidak demokratis, digebukin, diintimidasi, mainannya dibanting, dan diinjek-injek, apakah anak itu ketika ditanya mau enggak punya ayah yang seperti itu? Wajar jika anak itu menolak untuk memiliki ayah seperti itu. Analogi seperti inilah yang sedang terjadi di Indonesia. Katanya negara Indonesia demokrasi, namun pada kenyataannya Indonesia merusak makna sebenarnya dari demokrasi itu sendiri.

Kawan dari IRB USD

Saya hanya ingin menambahkan saja, dalam konteks Freeport di Indonesia, inikan kepanjangan tangan dari Freeport Amerika. Itu watak dasar dari kapitalisme Freeport di Indonesia.

Tadi ada pertanyaan harus ada perjuangan bersama atau secara masif. Secara prinsip, issue tentang Freeport ini bisa kita jadikan issue bersama dan kemudian yang paling penting adalah mengangkat issue tentang kemanusiaan. Hak ekonomi, sosial dan politik harus diperjuangkan bersama. Kalau ini akan dijadikan issue bersama.

Terakhir, bagi saya, penting bagi setiap UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) terus membangun, semacam sense, sejaum mana harus melawan. Karena itu berangkat dari sini.

Ketika alat produksi dimiliki oleh segelintir orang, hanya beberapa orang yang kaya. Dalam konteks perjuangan politik, selama darah masih mengalir, setiap orang harus berjuang mempertahankan haknya, tidak bisa tidak! Saya kira demikian. Terima kasih.

Tanggapan dari Moderator untuk Pertanyaan Ke-3

Mewakili kawan-kawan di USD sini, walau pun kurang pas: “ruang demokrasi semacam ini, ruang diskusi semacam ini, walaupun di kampus, walupun di ruang publik harus ditegakkan, apalagi ruang kampus, sekolah semacam ini yang memiliki legalitas yang paling tinggi, diskusi-diskusi semacam ini harus selalu diadakan tanpa ada intervensi dari manapun, baik dari kampus, pemerintah, dan intervensi-inervensi dari kepentingan-kepentingan tertentu.
Demikianlah diskusi kita malam ini. Kawan-kawan bisa menarik kesimpulan sendiri-sendiri, saya tidak akan mengintervensi.

Izinkan saya mengutip perkataan dari orang negro seperti ini:

“Lemahkan mentalnya, lemahkan pikirannya, dan lemahkan tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu apakah kita hanya akan diam? Ataukan kita akan membela martabat manusia dan martabat diri kita sendiri.”

Sekian diskusi kita malam ini. Terima kasih telah ikut terlibat.

Diliput Oleh : Ismantoro Dwi Yuwono.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: