Opini Pembaca

Masalah Dalam Penutupan Lokalisasi Dolly: Solidaritas untuk Front Pekerja Lokalisasi

 

Seorang perempuan aktivis Front Pekerja Lokalisasi (FPL) menunjukkan surat yang akan dikirimkan ke Komnas HAM saat aksi penolakan rencana penutupan lokalisasi Dolly yang digelar di kawasan lokalisasi Dolly, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (5/6).

Kita mungkin tahu perihal bentrokan aparat-warga saat penutupan lokalisasi Dolly-Jarak yang terjadi beberapa hari lalu. Sebenarnya penutupan ini sudah lama direncanakan. Deklarasi penutupan juga sudah dilakukan pemerintah kota Surabaya sejak 18 Juni lalu. Namun gabungan masyarakat yang berkepentingan terhadap lokalisasi dan kemudian membangun Front Pekerja Lokalisasi (FPL) bersikap menolak penutupan lokalisasi tersebut.

Dari berbagai informasi yang didapat dari kelurahan setempat maupun dari FPL dapat diketahui, bahwa lokalisasi Dolly-Jarak telah menghidupi tidak kurang 1100 pekerja seks, ribuan pedagang kecil, buruh cuci, warung, dan ribuan masyarakat sekitar yang tinggal di 5 Rukun Warga (RW). Penutupan Dolly-Jarak tentu akan berdampak pada ribuan masyarakat yang biasa menggantungkan hidupnya pada lokalisasi. Dalam penutupan itu, pemerintah memang berjanji memberikan kompensasi kepada setiap pekerja seks dan mucikari dari 5 hingga 7 juta rupiah. Namun kompensasi tersebut juga ditolak oleh gabungan masyarakat karena dinilai belum menjawab dampak menyeluruh dari penutupan.

Ketegangan sempat mereda karena menjelang bulan puasa, aktivitas lokalisasi memang biasanya berhenti dan pekerja seks pulang ke kampung-kampung halaman mereka. Artinya, tutupnya lokalisasi Dolly-Jarak untuk sementara waktu di bulan Juni-Juli tidak berarti para pekerja seks dan masyarakat sekitar lokalisasi sudah menyetujui penutupan lokalisasi. Dalam deklarasi penutupan sebelumnya oleh pemerintah kota Surabaya, gabungan masyarakat tetap menolak dan bersikap akan terus beroperasi sebelum ada bentuk tanggung jawab riil pemerintah terhadap dampak-dampaknya. Sebagian besar pekerja seks bahkan menolak dan mengembalikan uang kompensasi pemerintah.

Persoalan berlanjut menjelang hari raya Idul Fitri kemarin. Pemerintah memaksakan kehendaknya (baca: otoriter) atas penolakan warga dengan memasang plakat penutupan di wilayah Dolly-Jarak, dan mengatasnamakan tindakannya sebagai penegakan moral dan hukum. Tindakan otoriter ini berdampak pula pada cara-cara kekerasan yang dipakai, dimana puluhan warga yang melawan ditangkap dan dipukul sehingga mengalami luka-luka. Tidak hanya itu, ratusan warga juga mendapat intimidasi dari serangan dan sweeping aparat terhadap warga yang menolak penutupan di wilayah lokalisasi Dolly-Jarak.

 

Berangkat dari Fakta

Fakta dari para pekerja seks menyebutkan, mereka pada dasarnya tidak menyukai bekerja sebagai pekerja seks. Salah seorang pekerja seks, sebut Nety misalnya, mengatakan “siapa sih yang mau kerja beginian kalo gak terpaksa mas.” Mereka umumnya tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan hidup diri sendiri maupun tanggungan anak dan keluarga karena ketiadaan tanah untuk bertani, ketiadaan ijazah sekolah untuk melamar pekerjaan atau ketiadaan modal untuk berusaha membuka warung dan sebagainya. Menghadapi rencana penutupan lokalisasi, pekerja seks dan warga dalam beberapa kesempatan bahkan mengajukan, solusinya bukan menutup semena-mena, tapi terlebih dahulu menjamin pekerjaan yang sanggup menghidupi mereka.

Terhadap solusi yang diajukan pekerja seks dan warga, pemerintah hanya bungkam. Uang kompensasi senilai 5-7 juta sudah dianggap sanggup bagi setiap pekerja seks untuk membangun usaha ketrampilan atau modal bertahan hidup menunggu datangnya pekerjaan baru. Tapi bagi pekerja seks dan warga, hal itu jauh dari kenyataan. Pengalaman penutupan lokalisasi yang pernah terjadi justru memperlihatkan hal sebaliknya. Uang kompensasi tidak dapat dipakai berusaha dalam jangka waktu lebih dari setahun, karena akhirnya merugi. Beberapa yang bekerja di perusahaan umumnya hanya bertahan 1 tahun karena dikontrak dan mendapat upah sangat kecil. Ketrampilan yang disalurkan pemerintah juga selalu berujung pada tidak terjualnya hasil-hasil ketrampilan karena pemerintah tidak menjamin pembelian hasil-hasil ketrampilannya. Akhirnya, sebagian besar kembali lagi melakukan perdagangan seks dengan tersembunyi dan tersebar, yang mana berkonsekuensi pada kekerasan lebih lanjut terhadap perempuan pekerja seks. Ini telah menjadi fakta yang menyertai setiap penutupan lokalisasi tanpa adanya jaminan negara.

Belum lagi dengan para pedagang dan masyarakat sekitar yang ikut hidup dari lokalisasi tersebut. Pemerintah bahkan tidak memikirkan apapun untuk memindahkan pedagang atau menjamin pekerjaan kepada masyarakat yang biasa menjadi juru parkir, ojek, tukang cuci, tukang pijat, dll. Jangankan memikirkan masa depan rakyat sekitar lokalisasi, berdialog dengan warga untuk mengetahui aspirasi pun tidak dilakukan oleh pemerintah. Sehingga penutupan lokalisasi atas nama penegakan moral dan hukum–apalagi peraturan itu tidak dibuat sendiri oleh rakyat–tetaplah tindakan otoriter dan tidak berpihak pada rakyat.

dolly

 

Bersikap Adil

Kita bisa mengatakan ‘seks yang diperdagangkan’ memang menyalahi prinsip-prinsip kemanusiaan. Tapi jika dicermati lebih jauh, sistem hari ini, kapitalisme, memang telah mengubah segala hal menjadi barang-dagangan. Seperti misalnya air yang sebenarnya milik semua orang namun diperdagangkan, atau tenaga kerja manusia yang diperdagangkan dengan upah (murah). Ini berarti bahwa perdagangan seks hanya turunan dari sifat barang-dagangan yang dijalankan kapitalisme. Apalagi kemudian, aktivitas perdagangan seks hanya buah dari ketidakmampuan negara/pemerintah menyediakan lapangan kerja yang layak bagi rakyatnya.

Disini kita tidak boleh melihat perdagangan seks sebagai sebuah penyimpangan moral dan hukum negara tetapi lupa bahwa negara juga lah yang awalnya membuka jalan terhadap perdagangan ini. Disaat yang sama kita harus juga melihat bahwa arena perdagangan ini telah mampu menghidupi sebagian masyarakat yang umumnya adalah kelas buruh, yaitu kelas yang tidak memiliki alat produksi dan harus menjual ‘tenaga kerja’ nya untuk bisa hidup.

Masalahnya, pemerintah tidak mampu lagi membangun lapangan pekerjaan layak yang sanggup menyerap tenaga kerja. Dalam pengertian itu, sebelum mengirim ribuan aparat untuk memaksakan kehendak penutupan, seharusnya pemerintah lebih dulu mengkongkretkan tanggung jawabnya pada penghidupan rakyat (khususnya yang hidup dari lokalisasi). Jika berpikir untuk penghidupan rakyat, misalnya, uang kompensasi yang jika ditotal mencapai 7 miliar sebenarnya dapat saja dipergunakan sebagai awal untuk membangun usaha/industri kerakyatan yang dikelola pekerja seks dan masyarakat lokalisasi sebelum kemudian menutup lokalisasi. Tapi pemerintah memang tidak menyediakan program strategis bagi kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, tindakan otoriter menutup lokalisasi, walau dibalut kompensasi 5 juta, adalah jawaban tidak langsung dari negara bahwa negara tidak sanggup menjamin kehidupan rakyatnya. Itu berarti uang kompensasi hanyalah pesan untuk memperpanjang hidup lebih lama tanpa solusi mendasar mengatasi kemiskinan yang menjadi alasan lahirnya pekerja seks. Jika di pabrik, ini dapat dilihat sebagai PHK sepihak tanpa pertanggungjawaban.

Tapi hal yang wajar jika kita memahami bahwa negara sekarang adalah negara nya para pemodal. Negara pemodal bukan hanya mampu mengorbankan rakyat demi dongeng-dongeng moral yang mereka ciptakan, tapi juga berlaku tidak demokratis dan memiskinkan rakyatnya. Maka dari itu, perjuangan rakyat yang tergabung dalam FPL patut didukung oleh sesama kelas yang tidak memiliki alat produksi, yaitu kelas buruh, tanpa menyimpan prasangka buruk yang dihembuskan negara pemodal. Semua orang yang ditangkap karena melawan juga harus diperjuangkan untuk dibebaskan.

Dengan itu pula, bagi setiap orang yang menyetujui penutupan lokalisasi ini sembari mencibir pekerja seks sebagai pihak yang bersalah, lebih baik jika dia juga memastikan negara menjamin kehidupan pekerja seks dan masyarakat lokalisasi jika penutupan dilakukan. Atau setidaknya bertanya dalam diri sendiri, berapa orang dari ribuan masyarakat itu yang mampu dia jamin kehidupannya. Mungkin itu bisa membuat kita lebih adil sejak dalam pikiran.

Pada akhirnya, negara kapitalis tidak akan mampu menghapus perdagangan seks dengan hanya menutup puluhan atau ratusan lokalisasi, karena kapitalisme selalu menyediakan syarat bagi perdagangan seks, baik tersembunyi maupun terbuka. Celakanya lagi kita memang hidup dalam masyarakat kapitalis yang melanggengkan budaya patriarki, dimana tubuh perempuan selalu dijadikan objek (seksual), yang membuat semakin lengkap sudah penempatan  tubuh perempuan sebagai komoditas. Perdagangan seks hanya bisa terhapus lewat pembangunan berorientasi kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan, atau dalam kata lain, lewat hancurnya masyarakat barang-dagangan berjuluk kapitalisme.

 

 

Oleh: Kibar, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP

 

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: