Opini Pembaca

Buruh Berpolitik

Buruh BerpolitikProfessor John Ingleson dalam buku Perkotaan, Masalah Sosial, &Perburuhan di Jawa Masa Kolonial, mencatat bahwa pergerakan serikat buruh memiliki peran penting dalam membangun kesadaran perjuangan nasional.[1] Salah satu serikat buruh yang memiliki anggota terbanyak adalah VSTP atau Vereniging van Spoor en Tramwegpersoneel yang berdiri pada tanggal 14 November 1908. Keanggotaan buruh mengalami peningkatan pesat hingga pada tahun 1922-1923 beberapa serikat buruh kereta api di Pulau Jawa mulai menginisiasi pemogokan demi pemogokan besar guna melakukan tuntutan atas upah mereka.

Ini adalah peristiwa yang sangat layak diingat di dalam sejarah Indonesia mengingat pada kesempatan itulah muncul sebuah bentuk organisasi modern pertama yang memiliki massa begitu banyak yang secara terang-terangan berani menyuarakan pendapat mereka. Peristiwa pemogokan tersebut memang gagal dan mengakibatkan ribuan buruh dipecat dan digantikan dengan yang baru serta pemimpin VSTP, Semaoen, diasingkan ke Belanda. Kendatipun begitu, peristiwa tersebut dapat menjadi bahan refleksi bagi perjuangan kaum buruh kontemporer akan posisi mereka di dalam politik nasional bahwa buruh pernah menjadi kekuatan politik yang revolusioner.

Apakah posisi buruh akan selalu tersubordinasi di dalam politik? Apakah proses demokratisasi di Indonesia menjamin keterwakilan buruh dalam konstelasi politik nasional? Tulisan ini hendak melihat kemungkinan-kemungkinan jalan perjuangan politik kontemporer dalam konstelasi politik nasional dengan melihat dinamika perjuangan kaum buruh itu sendiri di dalam serikat dan aliansi serikat buruh nasional.

Mau tidak mau dan suka tidak suka, kaum buruh harus terus berhadapan dengan kapitalisme global yang menuntut buruh selalu dalam kondisi yang minim upah akibat terus berkembangnya proses globalisasi produksi. Sudah menjadi logika kapitalisme bahwa untuk menciptakan keuntungan maka proses produksi haruslah efisien. Upah buruh yang murah adalah jalan bagi kapitalisme untuk menekan biaya produksi tersebut. Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa kaum buruh yang bekerja dan menghasilkan komoditas itu tidak mendapatkan imbalan kesejahteraan yang setimpal sedangkan keuntungan lebih banyak dinikmati oleh para pemilik modal?

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia menyatakan bahwa Kebutuhan Hidup Layak (KHL) saat ini dinilai tidak layak. 60 item yang menjadi ukuran KHL dinilai tidak mencukupi kebutuhan buruh saat ini dan KPSI mengajukan tuntutan tambahan 24 item tambahan untuk memenuhinya.[2] Dengan demikian terbuktilah analisis Marx terhadap buruh yang teralienasi dari pekerjaannya akibat terjadi proses “mesin-isasi” atas apa yang dikerjakannya dan juga akibat upah yang tidak diterima secara setimpal. Manusia tidak lagi diposisikan pada martabatnya sebagai manusia melainkan perhitungan untung dan rugi.[3] Oleh karena itu buruh harus merebut kembali martabatnya sebagai pekerja yang menuntut keadilan melalui jalan politik.

Keberadaan perjuangan buruh di dalam politik telah ada sejak zaman Marxisme menjadi paham yang penting di dalam pergerakan buruh di Eropa pada abad ke 19. Ferdinand Lassalle memulai perjuangan tersebut di Jerman dengan Partai Buruh Sosialis Jerman yang kini menjadi Partai Sosial Demokrat Jerman.  Lassalle telah membawa ide tentang perjuangan buruh melalui jalur yang demokratis dengan menekankan bahwa buruh harus merebut kekuasaan melalui pemilihan umum dan oleh karena itu ia menyebut revolusi buruh sebagai revolusi melalui kertas suara.[4]

Di Indonesia, buruh pernah menjadi kekuatan dan basis massa penting dari Partai Komunis Indonesia. Namun akibat polemik peristiwa Oktober 1965 yang  menjadikan PKI sebagai tertuduh tunggal atas peristiwa coup d’etat , PKI dibubarkan. Suara buruh ikut terpendam akibat pembubaran tersebut dan di bawah Orde Baru, Indonesia beranjak menuju pasar bebas dan globalisasi produksi dimana investasi asing membanjiri Indonesia yang mengakibatkan Indonesia sebagai pasar tenaga kerja unggulan karena upah buruhnya yang murah. Reformasi tahun 1998 tidak membawa dampak signifikan bagi perjuangan buruh di dalam politik.

Tercatat pada pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009, partai-partai yang menggunakan nama buruh tidak mendapatkan suara yang signifikan. Pada pemilu tahun 1999, suara empat partai buruh hanya mendapatkan 0,37 persen suara. Pemilu tahun 2004 yang hanya diikuti oleh sebuah partai, meraup sebesar 0,54 persen suara. Pemilu tahun 2009, partai yang sama dengan nama yang berganti, juga hanya memperoleh 0,3 persen suara.[5] Tidak satupun kursi di DPR didapatkan oleh partai buruh.

Lalu bagaimana buruh hendak memperjuangkan kepentingannya apabila tidak mendapatkan suara di dalam politik nasional? Tentu kita harus menakar kembali dimanakah basis politik buruh itu tumbuh. Serikat buruh adalah tempat awal dimana aspirasi buruh menemukan wadah perjuangannya. Serikat buruh bisa menjadi saluran politik dan juga memiliki fungsi edukasi akan konstitusi ketenagakerjaan.

Dengan demikian, buruh mengerti akan kondisi mereka dan memahami jalan perjuangan politik yang harus ditempuh seperti yang pernah ditempuh oleh Lasalle di Jerman. Dampak dari menguatnya kesadaran buruh akan kekuatan serikat buruh akan membangkitkan kekuatan revolusioner di tubuh buruh itu sendiri seperti yang pernah dicatat dalam sejarah pergerakan buruh Indonesia tahun 1923.

Dengan demikian serikat buruh akan menjadi simbol awal perjuangan politik sebelum bergerak ke arah partai politik. Partai-partai politik berbasiskan buruh tentu saja tidak dapat mempertahankan eksistensinya apabila tidak didukung oleh jaringan serikat buruh yang kuat. Oleh karena itu, urgensi kesadaran berserikat bagi buruh adalah esensial bagi perjuangan politik buruh.

Fenomena fragmentasi gerakan buruh pasca reformasi menjadi corak gerakan buruh akibat adanya kebebasan untuk berserikat. Akibatnya perjuangan buruh seakan menjadi terpecah baik karena persaingan eksternal maupun internal. Hal ini tentunya akan melemahkan pergerakan buruh karena tidak adanya kesatuan perjuangan kepentingan. Kendatipun begitu kita masih melihat peranan buruh dalam menekan dan “mengganggu” kebijakan pemerintah seperti yang terjadi pada penghujung tahun 2008 ketika buruh menentang Peraturan Bersama Empat Menteri tentang kenaikan upah minimum.[6]

Fragmentasi tidak selalu berakhir buruk melainkan juga dapat meningkatkan persaingan sehat untuk membentuk organisasi serikat yang kompeten dalam menjaga dan mempertahankan kepentingan anggota-anggotanya. Suasana konfliktual menjadi inti dinamika perjuangan buruh di dalam serikat mengingat begitu luasnya latar belakang buruh di Indonesia. Namun satu hal positif yang menandai adanya kesatuan perjuangan kepentingan itu adalah adanya usaha-usaha serikat buruh untuk membangun aliansi dan konfederasi.[7]

Kini, aliansi-aliansi dan konfederasi-konfederasi serikat buruh inilah yang menjadi tumpuan basis politik buruh di Indonesia. Tantangan untuk menciptakan kesatuan sikap untuk berjuang bersama di dalam politik tentu saja akan menjadi jalan yang terjal mengingat politik uang yang seringkali masih akrab di dalam demokrasi Indonesia. Namun tidak ada kata lain selain buruh harus menyingsingkan lengan dan membuka hati untuk menyatukan sikap untuk menyusun strategi-strategi politik demi martabat dan kesejahteraan mereka.

Dionisius Waskita Cahya Gumilang, Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIPOL UGM, Yogyakarta.


[1] Ingleson, John, Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial, Komunitas Bambu, Jakarta, 2013, p 33 – 40

[2]Faqih, Fikri, KPSI: 60 Item Kebutuhan Hidup Layak Tak Lagi Sesuai Untuk Buruh (online)

< http://www.merdeka.com/peristiwa/kpsi-60-item-kebutuhan-hidup-layak-tak-lagi-sesuai-untuk-buruh.html > diakses pada tanggal 13 Oktober 2013

[3] Marx, Karl., Engels, F., The German Ideology : Students Edition, Lawrence & Wishart LTD, London. P 54

[4] Suseno, Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, p 210 – 211

[5] Juliawan, B.H., “Menakar Ulang Fragmentasi Kelas Buruh” BASIS, 9 – 10, September – Oktober 2009, p 15

[6] Ibid

[7] Ibid, p 19

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comments (1)

  1. Tulisan yg bagus dan mencerahkan, tks mas Dioni, terus hasilkan pemikiran konstruktif bagi perbaikan nasib buruh, karena di Negara Negara yg menjalankan konsep Welfare State ( Negara Kesejahteraan ) disitu ditandai dengan adanya Serikat Pekerja yg kuat ( strong union ). Mudah2an sp/SB di Indonesia menemukan momentum yg tepat.

    BG

Comment here

%d blogger menyukai ini: