Opini Pembaca

Dari Perjuangan Upah Menuju Perjuangan Politik

Ayo Mogok Nasional Buruh Indonesia“Upah Layak” kembali digemakan gerakan buruh tahun ini. Dalam momentum penentuan upah minimum tahun 2014 kedepan, sebagian besar gerakan telah mengajukan kenaikan upah minimum sebesar 50% (selain tuntutan menghapus sistem kontrak dan outsourcing).

Kalangan pemilik modal (pengusaha) pun langsung meresponnya dan memandang kenaikan upah minimum 50% yang disuarakan kaum buruh adalah “tidak wajar”. Dipicu oleh turunnya nilai rupiah terhadap dolar, pemerintah yang di tahun-tahun sebelumnya selalu berada di belakang, dalam membela kepentingan kelas pemodal, di tahun ini pemerintah justru tampil di depan berhadapan langsung dengan kaum buruh. Pemerintah pun menyatakan akan mengeluarkan inpres tentang pembatasan kenaikan upah sebesar 10% diatas inflasi untuk padat modal dan 5% diatas inflasi untuk padat karya.

Sebaliknya, untuk pengusaha pemerintah justru bertindak sebaliknya. Kebijakan pengurangan pajak bagi para pemodal pun akan diberikan. Sikap ini membuktikan sekali lagi bahwa pemerintah yang berkuasa saat ini hadir untuk melindungi kepentingan para pengusaha ketimbang membela kepentingan kaum buruh.

Dalam polemik ini, sebagian besar media menggiring opini masyarakat bahwa tuntutan kenaikan upah sebesar 50% adalah “tidak wajar” dengan menyatakan situasi ekonomi yang tidak mendukung, kondisi makro ekonomi yang tidak stabil dan alasan produktivitas buruh yang rendah.

Kepungan terhadap kaum buruh menjadi semakin lengkap disaat Kapolri dan Panglima ABRI menyatakan kesiapannya untuk mengamankan pusat-pusat perekonomian dari aksi-aksi buruh. Kesiapan ini nampaknya sedang dibuktikan aparat lewat tindakan represif/kekerasan terhadap perjuangan buruh yang justru meningkat (contoh kasus kekerasan di PT. Kalbe Farma Bekasi atau PT.Fujiseat Kerawang) menjelang penetapan upah di bulan November mendatang.

Ditengah pertentangan antara buruh dan pengusaha-pemerintah, para elite kita (wakil rakyat di DPR/DPRD) dan partai-partai politik sama sekali diam dan tidak memberikan dukungan apapun terhadap tuntutan kaum buruh. Jutaan kaum buruh dibiarkan berjuang sendiri melawan kekuatan modal dan pemerintah yang mendukungnya.

Sehingga langkah untuk mengkonsolidasikan seluruh elemen gerakan buruh yang bersepakat terhadap kenaikan upah 50% adalah TEPAT. Dan untuk itu juga pertemuan/konsolidasi nasional pada 30 September 2013 menjadi penting bagi seluruh serikat buruh dan unsur gerakan yang setia berjuang saat ini.

Tetapi sebelum kita membicarakan soal-soal tugas perjuangan melawan konsolidasi kekuatan anti buruh, ada baiknya kita memperkuat argumentasi kita terhadap tuntutan kenaikan upah 50%. Selanjutnya kita akan melihat lebih jauh bagaimana sebenarnya upah ditentukan dalam sistem kapitalisme neoliberal yang dijalankan oleh pemerintah saat ini, dan kemana arah perjuangan kita harus diarahkan.

Kenaikan Upah Minimum 50% adalah Layak, Wajar, Perlu, dan Bisa dipenuhi serta harus didukung oleh gerakan buruh!

Ada berbagai alasan yang bisa kita kemukakan. Diantaranya:

Pertama, Secara konstitusional, kenaikan Upah 50% persen adalah jalan awal menuju cita-cita mensejahterakan rakyat.

Dalam pembukaan UUD 1945 telah dinyatakan bahwa tujuan dari pembentukan pemerintah negara Indonesia salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Artinya kesejahteraan bukan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang sebagaimana yang saat ini terjadi.  Pemerintah dan kelas pemilik modal menganggap kenaikan upah 50% atau tuntutan upah minimum di Jakarta menjadi 3,7 juta dianggap terlalu besar, tidak wajar. Padahal kenyataan adalah justru sebaliknya. Yang tidak wajar adalah justru keuntungan besar perusahaan yang merupakan hasil kerja keras keringat buruhnya, tetapi hanya para pemilik perusahaan dan level manager keatas yang menikmatinya.

Bandingkan dengan pendapatan direksi dan komisaris perusahaan. Misalnya total Pendapatan direksi PT. Telkom, Bank Mandiri, Bank BRI rata-rata mencapat angka diatas 5 milyar per tahunnya.

Yang tidak wajar adalah penghasilan selangit dari presiden, anggota DPR, Para Menteri, Jenderal polisi dan tentara, Gubernur dan Bupati dan pejabat negara lainnya lah yang dibiayai dari APBN kita, yang notabene adalah uang rakyat. Tidak wajar jika pendapatan mereka dibandingkan upah buruh dan rakyat Indonesia yang masih hidup pas-pasan, serta 60% penduduk yang hidup miskin.

Lihat misalnya, menurut Independent Parliamentary Standarts Authority dan IMF, total pendapatan presiden SBY pertahun sebesar USD 124.171 atau sekitar 1,1 milyar (dengan kurs Rp. 9000 per 1 dolarnya), atau 30 kali pendapatan perkapita penduduk Indonesia. Ini menjadikan presiden SBY, merupakan presiden dengan pendapatan terbesar ke-3 se dunia jika dibandingkan pendapatan per kapita penduduk. Begitu pula halnya dengan gaji anggota DPR-RI yang menempati urutan terbesar ke-4 di dunia jika dibandingkan dengan pendapatan perkapita penduduk. Inilah yang tidak wajar, ditengah rakyat yang masih harus berjuang untuk mendapatkan hidup layak, mereka bergelimang.

Jika pemerintah SBY saat ini terbukti hanya mampu memberikan kesejahteraan pada segelintir orang maka ini adalah bentuk nyata penyelewengan terhadap cita-cita kemerdekaan dan konstisusi negara.

Demikian pula pasal 27 ayat (2) UUD 45 yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. “Penghidupan yang layak” tentunya bukanlah pengertian upah layak yang dikonsepsikan dalam 60 item KHL sebagaimana diputuskan Menaker. Bagi pemerintah dan pengusaha saat ini memang pengertian layak yang ditetapkan dalam upah minimum hanya diartikan bahwa buruh dapat bertahan hidup sehingga esok hari bisa bekerja kembali bagi majikannya. Bagi kita, layak seharusya bersifat sosial umum sebagai manusia. Komunikasi, televisi, memiliki rumah, sekolah anak sampai pendidikan tinggi adalah kebutuhan sosial saat yang tidak masuk dalam 60 KHL yang diputuskan Menaker tahun lalu.

Kedua, Kenaikan upah sebesar 50%, adalah upaya penyesuaian dari kenaikan harga selama periode 2013: kenaikan harga BBM sebesar 30%, kenaikan Tarif Dasar Listrik yang sudah dipatok sebesar 15%, dan kenaikan harga-harga lainnya, serta untuk dapat memenuhi kebutuhan sosial dasar lainnya yang belum dicover dalam 60 item KHL. Jadi kenaikan upah sebesar 50% pastinya tidak membuat buruh kaya, melainkan masih hanya mampu memenuhi kebutuhan sosial pada situasi saat ini.

Ketiga, Kenaikan upah yang tinggi adalah konsekuensi keuntungan yang diperoleh perusahaan yang juga merupakan hasil keringat kaum buruh. Selama ini keuntungan yang besar yang diperoleh perusahaan tidak pernah menetes ke buruhnya dalam bentuk upah minimum. Sekedar contoh yang terjadi di pertamina. PT Pertamina tahun ini mengumumkan laba bersih perusahaan pertamina tahun ini sebesar 25 trilyun lebih. Jika saja katakan upah buruh outsourcing Pertamina ini yang berjumlah sekitar 20.000 buruh, naik sebesar 2 juta rupiah per bulannya, maka pertamina hanya mengeluarkan tambahan yang diambil dari keuntungannya (yang juga sebenarnya hasil dari kerja keras kaum buruh pertamina) Rp. 2 juta x 20.000 buruh x 12 bulan = Rp. 480.000.000.000 (480 milyar) atau hanya sekitar 2% dari keuntungan perusahaan. Masih ada 24,52 trilyun keuntungan perusahaan.

Selama ini Perusahaan hanya memberi upah rata-rata setara dengan upah minimum seberapun besarnya keuntungan perusahaan (bahkan ada banyak perusahaan yang masih mengupah buruhnya dibawah upah minimum).

Keempat, Upah Layak (kenaikan upah minimum 50%) harus berdasarkan perhitungan Kebutuhan Hidup Layak dengan 84 komponen KHL bagi buruh lajang dan 122 komponen untuk buruh yang sudah berkeluarga. Dengan survey 84 komponen KHL maka upah buruh sebulan berkisar 3,3 juta – 4 juta/bulan. Hasil survey ini sekaligus menolak argumentasi negara dan pemodal yang menganggapnya tidak wajar. Bahkan tuntutan ini semakin mungkin lagi jika biaya ‘liar/siluman’ untuk birokrasi dan aparat dipangkas habis.

Pernyataan pengusaha yang menyatakan bahwa kenaikan upah akan membuat investor tidak masuk atau melarikan modalnya, justru dibantah sendiri oleh kalangan mereka. Ketua BKPM misalnya menyatakan bahwa tidak ada investor yang lari akibat kenaikan upah, para investor yang mau menanamkan modalnya di Indonesia tidak mempersoalkan soal kenaikan upah yang saat ini mencapai 50% sebagaimana dituntut kaum buruh.

Demikian pula halnya dengan pernyataan pengusaha bahwa kalau kenaikan upah yang tinggi akan menyebabkan kebangkrutan perusahaan dan berikutnya menyebabkan PHK. Jelas kalau dari hitung-hitungan, upah bukanlah faktor yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Upah buruh walau naik 50% masihlah sangatlah kecil dalam unsur biaya produksi. PHK memang bisa terjadi tetapi bukan karena kenaikan upah buruh, melainkan karena pengusaha tidak mau target/nilai keuntungannya berkurang. Selama ini kata-kata “perusahaan merugi” sering dipergunakan untuk menggambarkan bahwa keuntungan perusahaan tidak mencapai keuntungan yang ditargetkan, walaupun secara riil perusahaan masih untung besar.

Tutupnya sebuah perusahaan dan kemudian PHK selalu disebabkan oleh faktor-faktor lain diluar upah: pasar yang sedang lesu karena daya beli masyarakat rendah, kalah persaingan dengan perusahaan lain atau kalah dari produk negara lain yang lebih murah, kenaikan bahan baku akibat bahan bakunya impor dan nilai dolar menguat. Ini karena industri masih tergantung pada asing. Atau karena pengusahanya sendiri merasa modalnya lebih baik di tanam ke sektor produksi lain yang lebih menguntungkan. Semua ini diluar kekuasaan buruh. Tanpa kenaikan upah pun jika hal-hal diatas terjadi, maka perusahaan tetap akan bisa tutup dan mem-PHK buruhnya.

Upah dalam Sistem Ekonomi Barang Dagangan (Kapitalisme)

Upah yang lahir dari sistem kerja-upahan tidak datang dari langit. Sistem kerja-upahan muncul menandai lahirnya suatu sistem ekonomi-politik kapitalisme. Sistem ini mengganti jenis penindasan lama dalam bentuk penghisapan hasil kerja kaum tani oleh tuan tanah/bangsawan/kerajaan.

Semenjak kapitalisme tumbuh, upah telah dijadikan alat pemilik modal dalam mengakumulasikan modalnya. Dalam kapitalisme, besaran upah buruh tidak didasarkan dari berapa banyak nilai maupun keuntungan yang telah dihasilkan oleh buruh (tenaga kerja upahan). Karena jika demikian, semua keuntungan yang diperoleh para pemodal sudah seharusnya diberikan kepada kaum buruh. Karena hanya lewat kerja kaum buruh lah nilai dan keuntungan itu tercipta. Buruhlah yang merubah kapas menjadi benang, benang menjadi kain, kain menjadi pakaian. Buruhlah yang menciptakan nilai guna baru (dari kapas menjadi benang menjadi kain menjadi pakaian) dan sekaligus menciptakan nilai harga baru dari penciptaan barang-barang ini.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, besaran upah buruh juga tidak ditentukan dari kebutuhan sosial umum tenaga kerja (buruh/pekerja) sebagai manusia. Karena jika demikian maka kebutuhan sosial umum buruh sebagai manusia dan kebutuhan sosial pengusaha sebagai manusia pastinya sama. Sebagai manusia jika dalam kehidupan sosial saat ini  pengusaha membutuhkan alat komunikasi, makaburuh pun demikian; Jika pengusaha menginginkan memiliki rumah sendiri, buruh pun demikian; menginginkan anaknya nanti dapat mengenyam sekolah hingga perguruan tinggi, buruh pun demikian; pengusaha ingin dapat berlibur, memiliki waktu senggang yang cukup, buruh pun demikian. Tetapi kenyataan kaum buruh tidak bisa menikmati semua ini.

Sistem ekonomi Kapitalisme adalah sistem ekonomi barang dagangan yang awalnya berkembang lewat perpaduan perdagangan dengan produksi barang yang hidup dari perbudakan upah rakyat pekerja.  Produksi dan barang dagangan memang sudah ada sebelum sistem ekonomi kapitalisme lahir (abad 18). Tetapi dalam kapitalisme, produksi barang dagangan menjadi berkuasa universal.

Bahkan dalam perkembangan kapitalisme sekarang yang sering disebut dengan kapitalisme neoliberal (sering disebut hanya dengan istilah neoliberalisme) segala hal kebutuhan dasar dan sosial yang penting untuk kemanusiaan semuanya menjadi barang dagangan yang harus dibeli dengan uang. Bukan saja makanan, pakaian, perumahan, melainkan hak sosial lain seperti pendidikan, kesehatan, hiburan, penitipan anak, tempat rekreasi pun menjadi barang dagangan, diperjualbelikan. Belajar agama/ngaji, minta nasehat (konsultasi), kencing/buang air, air minum, dan lain sebagainya semuanya menjadi barang dagangan. Nilai-nilai gotong royong, peduli pada sesama, membagi pengetahuan, mengasihi sesama, membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan dan sebagainya nyaris punah dan semuanya berganti menjadi barang dagangan. Walaupun dalam perkembangan kegiatan bisnis ekonomi kapitalisme saat ini, banyak hal yang kelihatannya “gratis” tetapi sebenarnya justru disini menjadi sumber uang bagi pemiliknya. Kita bisa sebutkan dari mulai tontonan televisi, hingga sosial media seperti facebook, google, yahoo, tweeter, youtube dan sebagainya. Para pemiliknya saat ini menjadi salah satu milyader di dunia. Dari mulai iklan, hingga data-data yang ia miliki dari semua penggunanya menjadi nilai berharga tinggi untuk dijual/didagangkan kepada perusahaan-perusahaan (terutama perusahaan konsumen) yang membutuhkannya.

Bagaimana Upah Ditentukan?

Diatas dijelaskan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalisme, upah buruh bukanlah ditentukan berdasarkan hasil kerja buruh, bukan berdasarkan pada seberapa besar keuntungan perusahaan, dan bukan berdasarkan kebutuhan sosial hidup manusia.

Kenyataan dalam sistem ekonomi kapitalisme, buruh diangap tak ubahnya seperti layaknya barang dagangan lainnya. Perhitungan upah buruh, biaya hidup seorang buruh dihitung persis seperti barang dagangan lainnya yaitu berapa harga rata-rata produksi/reproduksinya buruh, agar dapat melanjutkan hidupnya untuk dapat bekerja keesokan hari bagi tuan majikannya (pengusaha). Agar buruh tetap dapat mampu bekerja dan melahirkan keturunannya untuk menjadi buruh menggantikan orang tuanya. 

Bila kita teliti secara mendalam prinsip upah murah seperti ini sebenarnya terus diberlakukan baik pada masa upah minimum dari berdasarkan KFM (Kebutuhan Fisik Minimum, 1969-1995), KHM (Kebutuhan Hidup Minimum, 1996 – 2005) dan KHL (kebutuhan Hidup Layak (2006 – Sekarang). Bahkan di masa pemberlakuan upah minimum berdasarkan KFM, masih memperhitungkan upah untuk buruh lajang, buruh yang sudah berumah tangga (buruh berkeluarga tanpa anak, buruh dengan 1 anak hingga 3 anak). Kini tak lagi diperhitungkan. Buruh yang sudah berkeluarga dan punya anak pun tetap mendapat upah lajang.

Sementara bagi buruh, tentunya menginginkan upahnya tidak sekedar penyambung hidup semata tetapi juga sebagai sarana pemenuhan dan pengembangan hidupnya sebagai manusia. Seluruh buruh ingin sejahtera dan sesungguhnya berhak mendapat kesejahteraan. Pertentangan antara kelas buruh dan kelas pemilik modal dalam sistem ekonomi kapitalisme terhadap besaran upah dan tuntutan kesejahteraan akan selalu hidup selama kapitalisme ada.

Upah Dalam Pertentangan Kepentingan Kelas Buruh dan Kelas Pemilik Modal

Besaran upah pastinya juga akan selalu ditentukan dari pertentangan ini. Semakin kuat buruh menuntut, berjuang, berdemonstrasi, mogok nasional, maka besaran upahnya akan semakin tingggi. Karena pada dasarnya tidak ada pemilik modal yang dengan suka rela menaikkan upah buruhnya secara layak. Ini bukan soal pemilik modal serakah atau tidak baik, melainkan karena tuntutan dalam cara sistem ekonomi kapitalisme. Pengusaha akan selalu berada dalam persaingan dengan perusahaan lain baik di dalam negeri atau dengan perusahaan/produk luar saingannya. Inilah mengapa ia harus selalu menekan upah buruhnya. Upah murah adalah tuntutan di dalam sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri.

Pertentangan buruh dan pengusaha tidak akan pernah berakhir seandainya saja tuntutan kenaikan upah yang dituntut oleh kelas buruh dipenuhi. Karena berikutnya kelas kapitalis yang menguasai dan menentukan barang-barang kebutuhan dan barang jasa lainnya akan menaikkan harga barang-barang yang dibutuhkan buruh dan rakyat. Faktornya bisa bermacam-macam: karena kenaikan harga bahan baku, karena ingin mendapat keuntungan lebih akibat daya beli masyarakat meningkat, dan lain sebagainya. Sehingga berikutnya kenaikan upah pun sering menjadi tidak berarti. Bahkan sering kali upahnya yang baru naik ini nilainya lebih rendah ketika dibandingkan kenaikan harga barang-barang. Keadaannya buruh jauh lebih buruk daripada sebelumnya, walau nilai upahnya meningkat. Ini yang sering disebut sebagai upah riil (besaran uang dibandingkan dengan besaran harga barang-barang kebutuhan).

Sejarahpun kembali berulang, kaum buruh menuntut agar upahnya meningkat berhadapan dengan pemilik modal yang tetap menginginkan upah buruh rendah.

Belum lagi jika dibandingkan dengan kenaikan upah buruh dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkan perusahaan. Disaat ekonomi sedang tumbuh misalnya Indonesia saat ini dimana angka pertumbuhan saat ini sebesar sekitar 6%, kenaikan upah buruh yang di tahun ini mencapai angka yang lumayan besar 40-70% di sejumlah kota, tetapi jika dibandingkan dengan keuntungan para pemilik perusahaan dan upah para manager keatas, pasti semakin jauh jurangnya.

Kapitalisme dan Ketimpangan

Kesejahteraan memang seharusnya bisa dinikmati semua orang. Tetapi dalam kapitalisme, dibawah penindasan upah buruh tidak mungkin mendapatkan kesejahteraan apalagi keadilan. Kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan semua adalah produk dari sistem ekonomi kapitalisme. Lihat beberapa data berikut:

Di AS, selama 1979-2007, pendapatan rata-rata 1% orang terkaya naik 272%, dari 350 ribu dolar AS menjadi 1,3 juta dolar AS. Sementara pendapatan rata-rata 20% penduduk AS termiskin hanya naik 13%, dari 15.500 dolar AS menjadi17.500 dolar AS. Demikian pula secara global, ketimpangan semakin meningkat. Hingga 2010, 8% penduduk terkaya (358 juta orang) memiliki 79,3% kekayaan global. Sebaliknya, 68,4% penduduk miskin (3,038 miliar orang) hanya memiliki 4,2% kekayaan global.

Di Indonesia, menurut Merrill Lynch dan Capgemini, jumlah miliarder Indonesia sebanyak 24 ribu orang yang memiliki kekayaan bersih di atas Rp. 9 miliar dengan total harta US$80 miliar (Sekitar 920 trilyun rupiah dengan kurs  11.500),  lebih dari separuh APBN. Persentase jumlah orang kaya yang meningkat lebih dari empat kali lipat sejak 2000, setelah krisis keuangan menghantam pada 1997-1998. Dari mana kekayaan ini berasal?  Ekonom Sudrajat menyebutkan ini karena reformasi ekonomi dan politik telah menciptakan banyak orang kaya baru terutama dari perkebunan, pertambangan khususnya batu bara dan sebagian kehutanan. Kalau sebelumnya akses terhadap kekayaan sumber alam hanya dikuasai kelompok terbatas, sekarang lebih meluas ke elit-elit politik, daerah, ormas. Orang-orang kaya inilah yang menurut laporan Real Estate Informastion System (Realis) Singapura, menyebutkan sepanjang tahun 2010-2011, lebih dari setengah dari 1.706 atau 50,9 properti yang harganya diantara Rp.10,65 – 35 milyar, atau total property rumah yang dibeli oleh WNI mencapai 40 trilyun. 

Menurut majalah Forbes, 40 orang terkaya Indonesia dalam Daftar Orang Terkaya Dunia 2011 menguasai kekayaan 85,1 miliar dolar AS atau Rp 791,4 triliun atau sekitar 14,43% dari total seluruh kekayaan Indonesia (Rp 5.482,4 triliun). Ini berarti kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia sekitar Rp 19,15 triliun per orang. Sementara itu yang 86% lainnya atau Rp 4.716,5 triliun mesti dibagi untuk lebih dari 240-an juta orang, atau hanya sekitar Rp 19,5 juta/orang.

Data lain memperlihatkan, total pendapatan 20% orang terkaya naik dari 42,07% (2004) menjadi 48,42% (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40% orang termiskin turun dari 20,8% (2004) menjadi 16,85% (2011). Kekayaan 40.000 orang terkaya Indonesia sebesar Rp 680 triliun (71,3 miliar dolar AS) atau setara dengan 10,33% PDB, dan ini setara dengan kekayaan 60% penduduk atau 140 juta orang.

Menuju Perjuangan Politik

Dalam perjuangan menuntut perbaikan upah dan kesejahteraan, kita saksikan sebagian buruh juga ada yang lelah berjuang, karena perjuangan atas upah memang tidak akan pernah berakhir dalam kapitalisme. Sebagian lagi akhirnya lari mencari kehidupan yang lebih baik untuk dirinya sendiri, meniti karir bagi dirinya dan lari dari perjuangan. Banyak pula elit-elit serikat buruh kemudian justru bergandengan tangan dengan pemilik modal dan penguasa dan akhirnya menjadi bagian dari kekuasaan yang menindas buruh, walau kehidupannya memang menjadi lebih sejahtera.

Tetapi jutaan buruh akan tetap berada di jalan-jalan, berdemonstasi walau PHK, pukulan/represi  bahkan penjara mengancamnya. Semua ini adalah bagian dari perjalanan yang memang harus dilakukan dalam perjuangan kelas buruh menghapuskan penindasan.

Tetapi kita harus menyadari bahwa perjuangan upah atau menuntut kesejahteraan tidaklah pernah dapat kita penuhi karena akarnya memang berada dalam sistem ekonomi itu sendiri. Oleh karenanya perjuangan kita pun tidak cukup jika hanya ditujukan bagi perjuangan ini.

Perjuangan kita haruslah ditujukan untuk menghapuskan penindasan itu sendiri dengan cita-cita membangun sebuah masyarakat yang adil dan sejahtera bagi seluruh rakyat dan bukan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang seperti ini. Untuk mencapai cita-cita ini, yang pada dasarnya bukan saja kepentingan kelas buruh melainkan juga kepentingan kelas tertindas lainnya, kelas buruh harus mengajak kelas-kelas lain yang juga sama ditindasnya oleh sistem ekonomi ini. Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah alat lain, sebuah bentuk organisasi lain yang berbeda dari organisasi serikat buruh. Organisasi ini sering disebut sebagai sebuah partai politik kelas.

Pastinya partai kelas buruh berbeda dengan partai-partai politik yang saat ini ada di parlemen atau partai politik yang baru muncul yang akan ikut dalam pemilu 2014 nantinya. Seluruh partai politik ini tidak memiliki kepentingan berbeda satu sama lain. Karena bila dicek seluruh partai yang ada dibangun/didirikan, atau setidaknya disokong kuat dan dikuasai oleh para pemilik modal. Sehingga kepentingan mereka pun pada dasarnya tidak berbeda antara satu partai dengan partai lain, mewakiliki kepentingan segelintir orang/minoritas yaitu kelompok berpunya (pemilik modal). Pertentangan diantara partai-partai ini lebih didasarkan karena mereka ingin kelompok merekalah yang menang pemilu, menang di parlemen (DPR/DPRD), menang di pemilihan presiden dan menguasai pemerintahan dan bukan untuk mengakhiri penderitaan rakyat.

Kepentingan partai kelas buruh kepentingan sejatinya tidak memiliki kepentingan berbeda dengan kepentingan sejati kelas buruh dan mayoritas rakyat yaitu menghapuskan penindasan yang dialaminya. Cita-cita ini hanya tercapi jika kelas buruh dan rakyat kemudian menjadi penguasa di negeri seperti halnya slogan yang sering didengungkan dalam aksi-aksi buruh, “Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera!”

Jika jutaan buruh telah membuktikan sanggup turun ke jalan, berjuang untuk menuntut kenaikan upah yang lebih baik, maka tidak diragukan bahwa jutaan buruh ini pun akan mampu berjuang untuk mengakhiri penindasan diri, mampu berjuang dan mengangkat rakyat sejati menjadi penguasa di negeri ini.

Rakyat di negeri ini sudah muak melihat perilaku penguasa negeri ini yang korup, bergelimang harta dan tidak mempedulikan keadaan dan penderitaan rakyat. Negeri ini tidak bisa diselamatkan oleh misalnya ketokohan semata seperti naiknya jokowi, atau mengirimkan wakil kita ke partai politik yang ada, menjadi caleg dan anggota DPR/D. Tugas sejarah ini di Indonesia berada di pundak kelas buruh. Gerakan buruhlah yang paling terorganisasikan dan memiliki kesadaran perjuangan yang tinggi (walau selama ini hanya sebatas perjuangan upah dan hak kesejahteraan lainnya). Saatnya kelas buruh bergerak bukan saja ke kalangan buruh melainkan mengajak kaum tani, nelayan, mahasiswa,  dan rakyat miskin lainnya untuk bersama membangun kekuatan dan menciptakan kesejateraan dan keadilan di negeri ini. Langkah awal mencapai cita-cita ini adalah dengan cara membangun sebuah alat perjuangannnya yaitu partai politiknya sendiri. Di titik inilah kita akan membuat perhitungan nyata terhadap penindas kita selama ini.

Edisi Cetak Arah Juang I – September 2013

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: