Perspektif

Pertarungan Kepentingan Dari BPUPKI Sampai BPIP

Analisis Sosialisme Ilmiah terhadap Pancasila

Terorisme-Fundamentalisme di Indonesia belakangan ini memicu reaksi balik salah satunya berupa demam Pancasila. Beserta jargon-jargon lainnya: Kebhinnekaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—khususnya NKRI Harga Mati, dan sebagainya, digunakan untuk mendukung negara dan pemerintah dalam melawan musuh-musuhnya. Dalam konteks ini: Terorisme-Fundamentalisme—khususnya Fundamentalisme Islam. Pancasila vs Syariah Islam, Kebhinnekaan vs Fundamentalisme, NKRI vs Khilafah, dan seterusnya.

Memang penting bagi kelas buruh dan rakyat-pekerja untuk melawan Terorisme-Fundamentalisme. Namun perlawanan yang dilakukan dengan mendukung negara kapitalis justru berbahaya. Karena sebagaimana dibuktikan dalam Perang Melawan Teror yang dikampanyekan AS, perlawanan demikian dijadikan batu loncatan untuk memberangus demokrasi dan melanggar HAM demi mengamankan kepentingan kapitalisme. Khusus di Indonesia, ini diikuti dengan pendirian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, dengan biaya miliaran rupiah untuk operasi maupun gaji para pejabatnya. Akhirnya ini bukanlah ideologisasi melainkan penggunaan momentum melawan Terorisme-Fundamentalisme untuk menumpuk keuntungan sembari membangun hegemoni.

Pancasila: Ideologi atau Kontrak Sosial?

Terdapat perbedaan pandangan mengenai dimanakah kedudukan Pancasila dalam spektrum politik. Mereka yang memandang Pancasila sayap kanan beralasan karena Pancasila memuat Sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sedangkan mereka yang menganggap Pancasila sayap kiri berdalih karena Pancasila memuat Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Termasuk di antaranya adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang mengganti Sosial Demokrasi Kerakyatan (Sosdemkra) mereka dengan Pancasila sejak Kongres VII tahun 2010.

Bagaimanapun juga Pancasila itu sendiri bukanlah ideologi. Ideologi bermakna sistem pemikiran dan cita-cita, khususnya yang melandasi teori maupun kebijakan politik. Setidaknya ada dua elemen yang harus dimiliki ideologi. Pertama, pandangan mengenai bagaimana tatanan masyarakat harus tersusun. Kedua, bagaimana cara untuk mencapainya. Ini definisi umum. Definisi Marxis mengungkap bahwasanya ideologi yang dominan di suatu masyarakat adalah ideologi kelas penguasa. Kaum Marxis mendefinisikan ideologi demikian sebagai suatu sistem konsep dan pandangan untuk memahami dunia sekaligus mengaburkan kepentingan-kepentingan sosial yang diekspresikan di dalamnya. Kemudian melalui kelengkapan serta konsistensi internal relatifnya cenderung membentuk suatu sistem tertutup. Dengan itu mempertahanan dirinya di hadapan pengalaman yang bertentangan atau tidak konsisten. Dibandingkan itu Marxisme sendiri sebenarnya bukan merupakan ideologi, terutama yang berkonotasi negatif. Penyebutan ideologi Marxisme sendiri lebih merupakan sekumpulan teori.

Pancasila di lain sisi terdiri dari 5 sila yang sangat umum. Sila-sila yang sangat umum tersebut memungkinkannya untuk diterima oleh semua kekuatan politik pada saat perumusannya. Pancasila lebih merupakan asas, landasan bersama, atau semacam kontrak sosial. Kontrak sosial adalah kesepakatan dari para pendiri negara-bangsa mengenai asas-asas yang bisa diterima (Onghokham dan Achdian, 2006) untuk menjelaskan muasal masyarakat serta memberikan legitimasi atas otoritas negara terhadap individu (Gough, 1936). Konsep mengenai kontrak sosial yang muncul di zaman pencerahan ini merupakan salah satu buah perjuangan ideologis para teoretikus dan filsuf borjuis. Macam Jean-Jacques Rousseau, Thomas Hobbes, John Locke, Immanuel Kant, dan sebagainya.

Oleh karena itu kontrak sosial merupakan bagian hakiki dari revolusi demokratis nasional. Revolusi demokratis nasional adalah perubahan mendasar dan menyeluruh berupa penggulingan feodalisme dan pendirian kapitalisme. Tugas-tugas revolusi demokratis nasional ini umumnya diemban dan dituntaskan kelas borjuis. Setidaknya memuat pembentukan negara dengan batasan-batasan wilayah serta pasar nasionalnya, modernisasi masyarakat, dan industrialisasi nasional. Termasuk di dalamnya adalah penghapusan penghambaan (dimana tuan tanah berkuasa memonopoli tanah dan tani hamba harus menggarap serta menyerahkan upeti, membayar sewa tanah, atau menyetor hasil panen). Ini salah satunya dilakukan dengan pelaksanaan reforma agraria. Selain itu revolusi demokratis nasional bertugas menghapuskan kerajaan dan menggantinya dengan republik. Mengganti monarki dengan parlemen. Mengganti teokrasi dengan demokrasi. Mengganti kebangsawanan atau keningratan beserta segala previlesenya dengan masyarakat sipil. Tugas-tugas revolusi demokratis juga memuat pembebasan nasional, lepas dari penjajahan, menjadi negara-bangsa berdaulat.

Pancasila sering dinyatakan sebagai karya asli Indonesia, hasil penggalian nilai-nilai sesuai berbagai adat, norma, dan pandangan di Nusantara. Namun kenyataannya—diakui atau tidak—Pancasila dipengaruhi banyak gagasan Liberalisme. Liberalisme—yang menjadi gagasan pendorong banyak revolusi demokratis nasional, mulai dari Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, dan sebagainya. Gagasan “Liberté, Égalité, Fraternité” atau “Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan” diserap di dalam Pancasila. Kebebasan dari penindasan dan penjajahan. Lalu kesetaraan di mata hukum. Kemudian persaudaraan atau persatuan. Ikatan antar manusia yang sebelumnya disematkan berdasarkan kesetiaan pada dinasti raja penguasa digantikan pada negara-bangsa. Semua ini tersebar dalam keempat sila kecuali sila pertama. Begitu pula mengenai HAM. Ini yang mengilhami sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Posisinya dalam revolusi demokratis nasional sama dengan United States Declaration of Independence atau Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Posisinya juga sama dengan Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen de 1789 atau “Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga 1789” yang merupakan buah Revolusi Prancis.

Pancasila: Buah Revolusi Demokratis Nasional yang Terdeformasi

Bagaimanapun juga Pancasila mengalami banyak keterbatasan akibat revolusi demokratis nasional  Indonesia yang terdeformasi. Terdeformasi, rusak, cacat. Pertama, perumusannya melalui proses kolaborasi dengan rezim fasis kolonial Jepang dan di bawah pengawasan langsung aparat-aparat militernya. Bagi kaum yang menempuh taktik kooperasi, memang kolaborasi dengan Jepang memungkinkan Indonesia mendapatkan janji kemerdekaan, pelatihan militer warga dengan pengorganisiran ke dalam Pembela Tanah Air (PETA), serta penyebaran dan perkembangan bahasa Indonesia secara pesat. Namun ini diiringi dengan penindasan luar biasa. Dari pembubaran semua organisasi kecuali yang direstui Jepang, penculikan dan penyiksaan, hingga kamp kerja paksa Romusha, dan perbudakan seksual Jugun Ianfu.

Tugas revolusi demokratis nasional yang penting lainnya adalah penghapusan teokrasi dan menggantinya dengan demokrasi. Sebelumnya, dalam tatanan masyarakat feodalisme, institusi kelas penguasa yang umumnya berupa kerajaan, menganut konsep agama resmi negara. Dengan itu berlaku persekutuan antara elit agamawan dengan kerajaan. Kerajaan mengakui dominasi agama resmi dan hak-hak istimewa para elit agamawannya. Sebagai imbal baliknya, para elit agamawan tersebut mendukung kerajaan dengan menyatakan bahwa raja adalah wakil tuhan di muka bumi. Mereka yang melawan raja sama dengan melawan tuhan. Revolusi demokratis nasional melawan dan menghapuskan hal ini. Status agama resmi dihapuskan dan diganti dengan kebebasan beragama dan beribadah. Agama dipisahkan dari pemerintahan dan negara. Sekularisasi ditetapkan sehingga agama tidak bisa lagi dijadikan klaim pembenaran kekuasaan dan penindasan. Ini yang tidak bisa dicapai Pancasila.

Ketiga, kesetaraan yang dimuat dalam Pancasila tidak memandatkan penghapusan kerajaan dan kebangsawanan dan segala previlese dari keningratan di Indonesia. Monopoli tanah dan kekuasaan turun-temurun masih dipertahankan di Indonesia. Bahkan dilindungi secara hukum dan politik lewat pemberian status Daerah Istimewa. Secara berangusur-angsur malah diintegrasikan ke dalam kapitalisme. Ini jauh lebih parah dibanding berkuasanya kembali Kerajaan pasca-kematian Oliver Cromwell di Inggris.

Keempat, sebagai produk (berupa kontrak sosial) dari revolusi demokratis nasional—bukan hanya revolusi demokratis nasional yang terdeformasi—Pancasila sebagai konsekuensinya tidak memiliki perspektif kelas untuk penghapusan kapitalisme. Ketiadaan ini dan ambiguitasnya membuat Pancasila mudah diperebutkan sayap kanan maupun sayap kiri dalam berbagai medan pertentangan kepentingan.

Pancasila: Pertarungan Kepentingan Sejak Awal Hingga Kini di Rejim Jokowi-JK

Pemyusunan Pancasila diawali dengan pembentukan Dokuritsu Jyunbi Chousakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945 oleh pemerintahan pendudukan Jepang bertepatan dengan hari lahir Kaisar Hirohito. Persidangan BPUPKI diselenggarakan dari 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Kemudian dilanjutkan Panitia Sembilan. Pancasila versi Piagam Jakarta yang merupakan hasil susunan Panitia Sembilan memuat Sila Pertama yang berbunyi “Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja.” Penghapusan “kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja” ini lalu dilakukan Hatta untuk menanggapi usulan A.A. Maramis dengan negosiasi ke kelompok Islamis seperti Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo. Pancasila akhirnya tidak menjadi landasan bagi hukum Islam dan negara Islam. Tapi Pancasila juga tidak jadi asas untuk negara sekuler. Posisinya di tengah-tengah. Ambigu.

Pemilihan Umum 1955 menunjukan kemenangan Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia. Selain memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemilu 1955 juta memilih anggota Konstituante yang bertugas membentuk Undang-undang Dasar baru menggantikan Undang-undang Dasar Sementara 1950. Di Konstituante terbentuk tiga blok yaitu Blok Pancasila yang terdiri dari PNI, PKI, Republik Proklamasi, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dsb; Blok Islam: Masyumi, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dsb serta Blok Sosio-Ekonomi: Partai Buruh, Partai Murba dan Partai Acoma. Blok Islam mendorong Islam sebagai dasar negara melawan Blok Pancasila. Dalam sidang Konstituante, perwakilan NU Kiai Ahmad Zaini menyatakan bahwa Pancasila adalah “rumusan kosong” yang ambigu dan dapat mengakui keberadaan “penyembah pohon”. Sementara itu perwakilan NU lainnya, Saifuddin Zuhri menyatakan bahwa sila pertama Pancasila kabur maknanya dan dapat ditafsirkan oleh tiap kelompok agama sesuai keinginan mereka sendiri.

Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dekrit Presiden 5 Juli dikeluarkan terkait dengan ketidakmampuan Konstituante untuk mendapatkan dua pertiga suara mayoritas parlemen mengenai rancangan undang-undang baru. DPR baru dibentuk yang bernama DPR Gotong Royong (DPRGR) yang seluruh anggotanya ditunjuk Soekarno. DPRGR mengkompromikan wakil-wakil dari partai-partai politik selain itu juga dari serikat-serikat buruh, kelompok-kelompok petani, dsb. Namun ongkos yang harus dibayar adalah pengakuan hadirnya wakil Angkatan Bersenjata dalam DPRGR sehingga mengabsahkan keterlibatan militer dalam politik.

Sejak Dekrit Presiden 1959 itu Soekarno memberikan garis-garis Pancasila dalam pidato-pidato kenegaraan yang berjudul Manifesto Politik, Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol USDEK), Jalannya Revolusi Kita (Jarek), Membangun Dunia Kembali, Tahun Kemenangan (Takem), Revolusi, Sosialisme Indonesia, Pimpinan Nasional (Resopim) dan Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri). Politik Soekarno sejak awal hingga kejatuhannya menggambarkan berbagai kontradiksi dalam praktek dan pemikirannya. Pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengatakan setelah BPUPKI bersidang selama tiga hari, “…kita harus mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari pesatuan philosophische grondslag, mencari satu weltanschauung yang kita semua setuju.” Namun setelah Belanda pergi pada periode 50an, Dekrit Presiden, Demokrasi Terpimpin hingga kejatuhannya isian praktek dan pemikirannya mengenai Pancasila menjadi semakin ke kiri. Seruannya akan persatuan Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) lewat pembangunan Front Nasional bersamaan dengan pembelahan terhadap kekuatan-kekuatan tersebut, yang dituntutnya bersatu adalah golongan kiri dan revolusioner dari tiga aliran ini. Ini masuk bagian pandangan Sukarno mengenai Zamenbundelling von All Revolutionaire Krachten atau “mempersatukan semua kekuatan revolusioner.” Sejak 1924 lewat tulisan “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” Sukarno sudah menyerukan persatuan antar tiga aliran ini. Demikian juga Masyumi dan PSI dilarang karena terlibat dalam pemberontakan. Sementara dilancarkan kampanye anti antek neokolonialisme imperialisme, anti kapitalis birokrat serta nasakom gadungan. Hal itu menyebabkan balasan dari sayap kanan, seperti munculnya Manifest Kebudayaan (Manikebu) serta pecahnya NU ataupun PNI menjadi kubu kiri dan kanan.

Rejim Militer Soeharto berkuasa dengan menghancurkan kekuatan Soekarno serta Komunis. Pancasila kemudian digunakan dan ditafsirkan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaannya dan peran militer. Soeharto membentuk Laboratorium Pancasila di IKIP Malang yang bertujuan untuk membersihkan Pancasila dari interpertasi kiri, khususnya sila kedua dan kelima. Hari Kelahiran Pancasila (1 Juni) dihapus dan diganti dengan Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober). Pancasila juga ditetapkan sebagai asas tunggal hingga pedoman perilaku. Kurikulum Pendidikan Moral Pancasila (PMP) diberlakukan. Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) wajib bagi seluruh warga negara. Pemaksaan Asas Tunggal oleh Orba mengakibatkan pecahnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) jadi HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) yang ingin mempertahankan asas Islam dan HMI Diponegoro (disingkat HMI DIPO) yang menerima Pancasila. Selain itu juga memecah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) antara yang ingin mempertahankan Marhaenisme dengan yang menerima menggantinya dengan Pancasila. Bukan hanya di ormas mahasiswa, asas tunggal dan pengideologisasian Pancasila juga menimbulkan konflik di ormas keagamaan. Nahdlatul Ulama (NU) awalnya menolak Pancasila. Alasannya karena dengan itu aliran-aliran kepercayaan diletakkan sama dengan agama-agama, termasuk agama Islam. NU sendiri baru menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1980. Demikianlah dampak penetapan Pancasila sebagai ideologi. Pancasila sebagai ideologi tidak hanya bersaing dengan ideologi-ideologi lainnya di Indonesia namun juga berkonflik.

Pasca Reformasi, Pancasila kembali didengung-dengungkan di masa Jokowi ini. Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) diresmikan pada 7 Juni 2017. UKP-PIP berfungsi untuk koordinasi, pengendalian dan pembenahan pengajaran Pancasila di sekolah-sekolah. Yudi Latief menjabat sebagai Kepala UKP-PIP dengan anggota Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Mahfud MD, Syafii Maarif, KH Maruf Amin, KH Said Aqil Siradj, Pendeta Andreas Anangguru Yewangoe, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya dan Sudhamek. Pada 28 Februari 2018 lewat Peraturan Presiden No 7 Tahun 2018 dibentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan Ketua Dewan Pengarah Megawati Soekarnoputri dan Kepala BPIP Yudi Latief serta komposisi sama seperti UKP-PIP. Yudi Latief sendiri kemudian mengundurkan diri.

Munculnya UKP-PIP dan kemudian BPIP berhubungan dengan perkembangan gerakan serta ideologi fundamentalis Islam. Kelompok fundamentalis Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) mengatakan bahwa Pancasila yang asli adalah Piagam Jakarta. “Pancasila-nya Soekarno, Ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan ada di kepala” kata Rizieq Shihab. Rizieq juga menggambarkan konsep NKRI Bersyariah sebagai NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 18 Agustus 1945 asli yang diperkuat oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sesuai dengan amanat Dekrit Presidet 5 Juli 1959. Sementara Jokowi menghubungkan Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika, keberagaman, toleransi, mewaspadai dan bertindak tegas terhadap organisasi dan gerakan yang anti-Pancasila, anti-UUD 1945, anti-NKRI, anti-Bhineka Tunggal Ika serta komunisme.

Perdebatan antara kubu fundamentalis Islam versus sauvinis mengenai Pancasila memunculkan pertanyaan mengenai agama dan negara. Namun keduanya tidak berada dalam spektrum progresif. Kubu fundamentalis Islam menginginkan negara agama sementara kubu sauvinis walau menolak negara agama, menginginkan negara yang agamis/ religius. Dalam tataran konsep ekonomi politik kedua kubu tersebut sama saja, yaitu kapitalisme-neoliberal.

Ditulis oleh Leon Kastayudha, Anggota Sosialis Muda dan Kader Perserikatan Sosialis.

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 45,III-IV Juni 2018, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: