Pernyataan Sikap

Aksi Solidaritas Melawan Kekerasan Seksual di UGM

Kita semua, massa yang marah dan frustasi akan kekerasan seksual di dalam kampus, harus menyatakan sikap yang lebih jelas dan tegas: berpihak pada kepentingan penyintas. Tidak ada area abu-abu dalam hal ini. Sudah saatnya berteriak anti kekerasan seksual dengan lantang dan menyingkirkan para pelaku kekerasan seksual.

Berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Universitas Gadjah Mada nyatanya tidak kunjung mendapatkan penyelesaian. Kasus kekerasan seksual yang terjadi dapat diibaratkan sebagai gunung es, di mana kasus yang terungkap hanya sebagian kecil dari kasus yang ada. Salah satu kasus adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik terhadap mahasiswinya pada 2015 silam. Status EH saat ini sudah dinonaktifkan secara formal, namun hingga saat ini EH tidak bergeming dan masih melakukan kegiatan terkait urusan akademik di lingkungan UGM. EH juga kembali melakukan kekerasan seksual. Kasus lain yang mencuat akhir-akhir ini adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh HS. Kasus tersebut diangkat oleh BPPM Balairung UGM dalam artikel Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan. Dalam kasus ini, penyelesaian yang ditempuh oleh UGM lagi-lagi tidak berpihak kepada penyintas dan tidak tegas dalam pemberian sanksi kepada pelaku. Dua kasus tersebut merupakan sebagian kecil dari berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus dan belum mendapatkan tindak lanjut hingga saat ini.

Berkaitan dengan itu maka berbagai organisasi dan individu yang peduli pada penyintas dan perjuangan melawan kekerasan seksual melakukan konsolidasi. Konsolidasi Aksi Solidaritas Melawan Kekerasan Seksual melibatkan seluruh aliansi di dalam dan luar UGM, organisasi, komunitas, mahasiswa, buruh, jurnalis, dan seluruh elemen yang peduli terhadap isu kekerasan seksual di kampus.

Kami melihat bahwa dibutuhkan persatuan untuk melawan kekerasan seksual yang terjadi di UGM. Hanya dengan perjuangan bersama maka kekerasan seksual bisa dihancurkan. Perjuangan bersama akan memberikan tekanan yang semakin besar bagi pihak universitas untuk mengambil tindakan tegas dan tidak menyudutkan korban.

Kita harus mengingat bagaimana berbagai upaya dilakukan untuk melindungi dan membenarkan pelaku kekerasan seksual. Dalam kekerasan seksual para penyintas bukan saja mengalami kekerasan seksual namun juga disalahkan atas kekerasan seksual. Sementara para pelaku kekerasan seksual bukan saja melakukan kekerasan seksual, melainkan mereka dilindungi dan dibenarkan melakukan kekerasan seksual.

Pelaku kekerasan seksual diletakkan dalam posisi yang setara dengan penyintas dengan pembenaran “Keluarga Besar UGM”, “penyelesaian secara kekeluargaan”, “supaya adil”, “tanpa prasangka” ataupun “asas praduga tak bersalah”. (pernahkan anda melihat perampok diperlakukan setara dengan korban perampokan?). Penyintas disalahkan dengan argumentasi  “ikan asin” mendekati “kucing” atau salah sendiri malam-malam berada di rumah yang sama. Menuntut pecat pelaku kekerasan seksual, menyebutkan namanya dan membawa foto wajahnya disebut melakukan persekusi. Hingga upaya untuk menutupi dan membatasi masalah kekerasan seksual ini hanya untuk diselesaikan oleh para elit mahasiswa dan birokrat “Keluarga Besar UGM” saja.

Ketika tuntutan “Pecat EH”, “Pecat HS” ataupun “Pecat Dosen dan Mahasiswa Pelaku Kekerasan Seksual” disebut sebagai persekusi maka sebenarnya mereka sedang membenarkan kekerasan seksual itu sendiri dan melindungi pelaku kekerasan seksual. Sebab dengan demikian mereka menyamakan pelaku kekerasan seksual dengan kelompok ras, agama atau politik tertentu yang tidak bersalah. Sementara mereka yang menentang kekerasan seksual disamakan dengan kelompok fasis, rasis atau bigot.

Perjuangan solidaritas bersama juga akan meyakinkan lebih banyak kelompok serta individu untuk mendukung perjuangan melawan kekerasan seksual. Demikian juga perjuangan solidaritas bersama akan semakin meyakinkan penyintas bahwa mereka tidak sendirian. Perjuangan yang terpisah-pisah justru akan memperlemah pukulan terhadap kekerasan seksual.

Demikian juga menuntut pecat EH, HS ataupun dosen dan mahasiswa lain pelaku kekerasan seksual adalah menuntut pertanggungjawaban UGM. Tidak banyak berbeda dengan tuntutan meminta pelaku kekerasan seksual di-drop out atau mengeluarkannya.

Tuntutan tersebut akan menunjukan bagaimana institusi kampus juga penuh dengan seksisme. Bagaimana mudahnya kampus memecat mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT namun begitu sulitnya memecat dosen dan mahasiswa yang melakukan kekerasan seksual. Bagaimana institusi dan birokrasi kampus melindungi kekerasan seksual. Bagaimana kita semua, yang mencintai kesetaraan, yang merindukan demokrasi, yang mendambakan masyarakat tanpa penindasan harus menyatukan kekuatan untuk melawan kekerasan seksual, melawan seksisme.

Oleh karena itu kami menuntut:

  1. Menuntut Universitas Gadjah Mada mengeluarkan semua pelaku kekerasan seksual (Pecat EH, Drop-OutHS!) dan memberikan pernyataan publik bahwa kekerasan seksual merupakan pelanggaran berat.
  2. Memberikan teguran keras dan sanksi bagi civitas akademika Universitas Gadjah Mada yang menyudutkan penyintas kekerasan seksual.
  3. Memenuhi hak-hak penyintas kekerasan seksual, termasuk mendapatkan ruang aman, transparansi penyelesaian kasus kekerasan seksual, pendampingan psikososial, layanan kesehatan, bantuan hokum, dan penggantian kerugian materiil.
  4. Menuntut Universitas Gadjah Mada untuk memberikan penyelesaian yang lebih transparan dan berpihak kepada penyintas.
  5. Menuntut Universitas Gadjah Mada untuk meninjau ulang bahkan mengubah regulasi dan tata kelola di tingkat Departemen, Fakultas, dan Universitas yang masih memberikan peluang bagi terjadinya kekerasan seksual.
  6. Melibatkan civitas akademika Universitas Gadjah Mada dalam penyusunan regulasi pembentukan badan independen untuk pencegahan, penanganan, dan penyelesaian kasus kekerasan seksual di UGM.
  7. Menuntut adanya pendidikan anti kekerasan seksual yang berpihak pada penyintas bagi seluruh civitas akademika Universitas Gadjah Mada di tingkat Departemen, Fakultas, dan Universitas.

Kami mengundang seluruh mahasiswa UGM maupun luar UGM, dosen, civitas akademika UGM, seluruh komunitas, organisasi, perkumpulan, individu, buruh, tani, dan seluruh elemen masyarakat yang peduli terhadap Kasus Kekerasan Seksual, untuk bergabung dalam barisan, menyatukan suara, dan bergerak bersama dalam Aksi Solidaritas Melawan Kekerasan Seksual di UGM.

Menolak Diam! Lawan Kekerasan Seksual!

Diam Dilecehkan, atau Bangkit Melawan!

UGM Jangan Diam!

Tinggalkan Bangkumu, Turun ke Jalan, Pecat Pemerkosa!

#UGMDaruratKekerasanSeksual #SHAMEONYOUUGM #KampusTidakAman #MenolakDiam #MenuntutKeadilan #KamiTidakTakut #SpeakUp #AksiMeliburkanDiri #SehariLiburKuliah

 

ALIANSI AKSI SOLIDARITAS MELAWAN KEKERASAN SEKSUAL DI UGM

Organisasi yang tergabung dalam aliansi: Distraksi, Lingkar Studi Sosialis, KPO-PRP, PEMBEBASAN, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Siempre, Mitra Wacana, Lavender Study Club, PLUSH, Rumah Bangau, Partai Srikandi UGM, PERS!ST Collective, LBH Yogyakarta, Individu-Individu.

Narahubung: 0812-3503-8011 (Nurry) dan 085727791251 (Altri)

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: