Opini Pembaca

Benarkah Fanatisme Jadi Akar Kekerasan dalam Sepakbola?

Terjadi lagi jatuhnya korban jiwa supporter dalam dunia persepakbolaan Indonesia akibat pengeroyokan. Namun harus disadari sepakbola bukan akar kekerasan dalam masyarakat. Akar kekerasan justru tatanan masyarakat kelas itu sendiri. Termasuk tatanan masyarakat kapitalisme. Dua basis massa utama supporter sepakbola, selalu datang dari kelas buruh dan kaum miskin kota. Ini fakta. Sepakbola dalam bentuknya yang modern bangkit di Inggris seiring dengan kebangkitan industri dan kapitalisme. Tak bisa dipungkiri, mayoritas dari tim-tim sepakbola dengan supporter paling kuat dan keras selalu datang dari kota Industri bukan desa dan kota plesir/wisata. Oleh karena itu London, Manchester, Barcelona, Buenos Aires, Rio de Janeiro, Kolkata, Istanbul, Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya–kota-kota yang punya industri besar yang menjadi sarang bagi klub-klub dengan supporter-supporter relatif paling kuat dan keras. Bukan Ibiza, Malé di Maladewa, atau Kabupaten Gianyar.

Kedua basis massa utama suporter sepakbola demikian, yaitu kelas buruh dan kaum miskin kota, menghadapi kekerasan kapitalisme dari hari ke hari. Demi bertahan hidup, buruh harus menjual kerjanya kepada kapitalis. Demi memperkaya kapitalis, buruh harus bekerja lebih lama daripada nilai upahnya. Waktu istirahat buruh adalah waktu untuk memulihkan tenaga kerjanya agar bisa diperas lagi oleh kapitalis. Ia bekerja keras menghasilkan dagangan yang belum tentu bisa dibelinya sendiri. Bila ia memaksa memiliki diluar kemampuan dan kebolehan, ia akan menghadapi dua pilihan kekerasan: kekerasan kemiskinan makin akut atau kekerasan dari penegak hukum. Sisi lain, kaum miskin kota justru lebih dekat dengan kekerasan. Kaum kota hidup di tengah hukum jalanan. Mereka kasar karena hanya dengan kasar mereka bertahan hidup. Mereka keras karena selama ini mereka dikerasi oleh negara. Dari waktu ke waktu menjadi sasaran penggusuran, penangkapan, dan segala bentuk ‘penertiban’ sesuai standar kapitalisme.

Tatanan masyarakat kapitalisme disusun berdasarkan hirarki pemilik kapital dan alat produksi. Semakin banyak menguasainya maka semakin tinggi kedudukan dan martabatnya dalam kapitalisme. Sebaliknya semakin sedikit maka semakin rendah posisinya dalam kapitalisme. Semakin dianggap kecil, remeh, hina, dan sebagainya. Ketimpangan kuasa dalam hirarki ini yang menjadi sarang persetubuhan dan beranak-pinaknya kekerasan.

Tapi dalam sepakbola, rakyat jelata bisa setara. Kau tidak harus tinggi seperti dalam Basket dan tidak harus kekar seperti dalam American Football untuk bisa unggul, menang, dan berjaya. Juga dalam sepakbola, buruh dan kaum miskin kota menemukan kebanggaannya. Kebanggaan sebagai supporter yang tidak dimiliki saat menjadi buruh dan kaum miskin kota. Dalam sepakbola, buruh menemukan persaudaraannya. Orang-orang yang tidak hidup di lingkungannya, tidak bersama dalam tempat kerja, singkat kata tidak (selalu) dikenalnya secara seketika dan senantiasa menjadi saudaranya. Saudara. Bukan kawan, bukan sahabat, bukan kamerad, bukan compadre. Tapi saudara. Saudara berarti satu keluarga, dan berbeda dengan sahabat, kawan, rekan, dan teman. Tidak ada bekas saudara, tidak ada bekas keluarga. Begitu kita bergabung dalam identitas supporter, entah karena kita lahir di kota itu atau besar di kota itu, maka kita bergabung seumur hidup. Saudara sesupportermu akan ada untukmu dan kamu juga harus ada untuk saudaramu. Bersama saudara-saudaramu, kau tidak cuma mendukung tim saat menang dan berjaya tapi juga saat harus mendukung saat timmu kalah, terpuruk, dan jadi bulan-bulanan. Dukungan yang tidak hanya membela tim tapi juga membela harga diri tim dan saudara-saudaramu.

Ya, saudara. Bukan saudari. Watak maskulinisnya memang melekat erat. Karenanya hampir tidak ada supporter klub sepak bola perempuan dengan supporter yang dekat dengan kekerasan. Ada geng perempuan tapi tidak ada klub sepakbola perempuan dengan hooligan perempuan. Kekerasan supporter sepakbola juga merupakan akibat kombinasi maskulinitas produk seksisme namun khusus menyeruak akibat gencetan ekonomi dan sosial kapitalisme.

Pada titik pembelaan harga diri yang dilukai inilah gesekan bisa meletus jadi bentrokan kekerasan. Harga diri bisa jatuh saat dicurangi wasit. Harga diri bisa jatuh saat pemain diciderai. Harga diri bisa jatuh saat dihina atau dicaci lawan. Harga diri bisa jatuh bahkan ketika tim dikalahkan. Maka ketika harga jatuh, ia harus dibela. Bahkan kalau perlu dengan kekerasan.

Lingkar kekerasan itu sulit berhenti karena tiap pelaku dan korban tidak berada pada identitas individu tapi identitas kolektif.

Orang luar sering tidak paham dan dengan mudahnya melayangkan cap bodoh atau fanatis buta kepada para supporter. Tanpa memahami penyebab atau akarnya.

Sekali lagi, sepakbola dan dunia supporter, bukanlah akar kekerasan melainkan sekadar saluran untuk rasa frustasi dari kekerasan serta keterasingan kapitalisme secara harian. Sepakbola juga jadi identitas bersama/kolektif atau persaudaraan sementara kapitalisme terus berusaha memecahbela buruh dan rakyat-pekerja. Dari situ, supporter menemukan suatu bentuk kuasa yang sebelumnya tak mereka punya. Kuasa yang tak hanya ditunjukkan saat berhadapan dengan lawan tapi juga saat pawai dan menguasai jalanan (apapun ekses atau konsekuensinya).

Tentu saja intervensi dan agensi bisa mempengaruhi perubahan derajat kekerasan serta watak kelompok supporter. Suatu kelompok supporter juga bisa menjadi lebih melunak, damai, bahkan mengadakan penggalangan amal bagi korban bencana. Bahkan dalam situasi revolusioner atau perlawanan, dua kubu supporter yang biasanya bermusuhan bisa berjuang bersama saling bahu-membahu. Galatasaray, Besiktas, dan Fanarbache yang dulunya rival, bersatu padu dalam aksi massa anti rezim Erdogan yang dipicu Occupy Gezi.

Orang luar, sekali lagi, tidak mengerti ini dan bisa mudah mencaci para supporer sebagai gerombolan fanatis buta bodoh, sambil mempertanyakan, “Ini kan cuma sepakbola?!”

Tidak. Sepakbola tidak pernah sekadar sepakbola. Sepakbola adalah pertarungan kuasa. Sepakbola tidak pernah sekadar klub lawan klub, tim lawan tim, tapi juga disertai dengan adu dominasi dua kubu supporter dalam stadion. Supporter mana yang paling kuat mendukung, mana yang paling hebat beratraksi, mana yang paling keras berteriak, berseru dan bernyanyi, dan mana yang paling digdaya dalam menjatuhkan mental lawan serta mengangkat semangat klub pujaan.

Kami menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya Haringga Sirila.

Kekerasan dalam sepakbola bisa dilawan dan dikurangi, tapi selama kapitalisme ada, maka selama itu pula kekerasan tidak akan sepenuhnya bisa dihapuskan. Harus ada yang menunjukkan bahwasanya pertarungan kuasa tidak layak dikobarkan antar rakyat jelata melainkan harus terhadap kelas penindas yang berkuasa.

ditulis oleh Leon Kastayudha, kader KPO PRP

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: