Opini Pembaca

Menghadapi Kejahatan Operasi Militer Indonesia di West Papua

Perang Saudara Orang West PapuaPengungkapan fakta korban kekerasan negara terhadap rakyat West Papua merupakan tuntutan perjuangan dan jalan yang harus ditempuh. Sebab pengungkapan kebenaran demikian vital bagi perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu penegakan HAM juga bagian penting dari tugas-tugas revolusi demokratis nasional khususnya pembebasan nasional West Papua. Rakyat West Papua sebagai bagian dari kaum tertindas berkepentingan mengungkap kebenaran untuk mengetahui kenyataan dan bagaimana mengubahnya. Rakyat West Papua berkepentingan terhadap penegakan HAM bukan hanya untuk menuntut hak-haknya yang dirampas namun juga menegaskan kepada dunia bahwa cita-citanya sah dan kebenaran ada di pihaknya.

HAM berlaku lintas ras, agama, golongan, wilayah, kelompok, organisasi bahkan negara, intinya hak seluruh insan manusia itu sendiri. Namun dari masa ke masa HAM rakyat West Papua tidak diakui, terus-menerus dirampas, dan kebenaran mengenai perampasan HAM rakyat West Papua itu selalu berusaha ditutup-tutupi para penindas. Berikut ini rincian sebagian korban kekerasan militer Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari awal kedudukan NKRI di West Papua sampai tahun 2004.

Pemerintah Indonesia lebih menyukai memilih jalan Operasi Militer sebagai pola penyelesaian dan mempertahankan masalah West Papua. Kekuatan keamanan Indonesia telah menyelenggarakan sedikitnya 12 Operasi Militer masif yang di mulai dari 1 Mei 1963, sejak pendudukan NKRI di West Papua. Setiap Operasi Militer tersebut mempunyai nama khusus sebagai berikut.

Pertama, disebut Operasi Sadar, dimulai pada tahun 1965 dan berakhir setelah dua tahun.

Kedua, Operasi barathayuda Operasi Militer ini di mulai pada tahun 1967. Melalui operasi ini telah mengakibatkan tewasnya sekitar 3. 500 Masyarakat Papua.

Ketiga, Operasi Wibawa atau Operasi Otoritas, yang diselenggarakan tahun 1969. Elieser Bonay gubernur pertama Provinsi Papua, menyebutkan sekitar 30. 000 masyarakat Papua mengalami pembunuhan oleh Militer Indonesia antara tahun 1963 dan 1969. Frank Galbraith, Duta Besar Amerika Serikat untuk Jakarta saat itu, melaporkan kepada washington pada tahun 1969 bahwa Operasi Militer Indonesia, yang telah mengorbankan ribuan orang masyarkat asli Papua,  serta di khawatirkan ada rumor bahwa ‘niat genosida’ terhadap masyarakat Papua.

Keempat, Operasi Militer pada tahun 1977, sasaran utama di Kabupaten Jayawijaya. Operasi tersebut mengakibatkan pembunuhan secara besar-besaran sekitar 12. 397 masyarakat Papua .

Kelima, Operasi Sapu Bersih I dan II di awali pada tahun 1981. Operasi ini akibatkan sedikitnya 1. 000 orang di Kabupaten Jayapura dan 2. 500 di Kabupaten Paniai terbunuh.

Keenam, tahun 1982 Militer Indonesia meluncurkan Operasi Galang I dan II. Operasi ini akibatkan sedikitnya ribuan masyarakat Papua terbunuh.

Ketujuh, Operasi Militer Tumpas (Annihilation Operation). Mulai tahun 1983 dan 1984.

Kedelapan, Operasi Sapu Bersih. Pasukan militer NKRI dalam operasi ini telah membunuh sedikitnya 517 orang dan membakar habis sekitar 200 rumah.

Kesembilan, Operasi Mapenduma. Operasi ini di luncurkan tahun 1996. Operasi tersebut mengakibatkan 35 orang ditembak mati, 14 perempuan diperkosa, 13 Gereja musnah, dan 166 rumah dibakar habis. Ketika itu 123 masyarakat sipil meninggal dunia akibat kesakitan dan mati kelaparan akibat mengungsi di hutan sekitarnya.

Tahun 1998 Militer Indonesia ditarik kembali, dari papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Tetapi orang Papua yang pergi berburu di hutan masih dicapnya sebagai separatis.

Kesepuluh, Operasi Militer yang diselenggarakan tahun 2001 di Kabupaten Manokwari. Operasi ini mengakibatkan empat orang terbunuh, enam lainnya disiksa, 1 perempuan diperkosa. Serta lima orang tidak ditemukan.

Kesebelas, Operasi Militer yang diluncurkan antara April dan November 2003 di Kabupaten Wamena Ibukota Jayawijaya dan sekitarnya. Area itu ditutup dengan lingkaran penjagaan sekitar itu seluruh wilayah. Selama itu militer menutup akses kelompok kerja gereja dan pekerja HAM selama Operasi berlanjut. Operasi itu akibatkan sembilan orang terbunuh, 38 orang mengalami penyiksaan dan 15 lainnya ditahan secara sewenang-wenang.

Ribuan masyarakat dari 25 kampung mengalami pengungsian, disertai kematian sekitar 42 orang yang mengungsi itu. Aparat militer juga membakar rumah, gedung gereja, sekolah, pos kesehatan seluruh kampung itu.

Keduabelas, Operasi Militer yang di selenggarakan di Kabupaten Puncak Jaya pada tahun 2004. Sedikitnya 6. 000 orang papua dari 27 kampung sekitarnya mengungsi di hutan, sekitar 35 orang dari itu 13 termasuk anak-anak meninggal di kamp dimana mereka mengungsi. Seluruh wilayah itu dikuasai pasukan militer dan militer melarang dan membatasi kelompok kerja kemanusiaan juga.

Tujuan utama dari Operasi Militer di Papua Barat adalah untuk mengeliminasi Orang-orang West Papua, yang mana Pemerintah Indonesia mencapnya sebagai separatis. Kelompok kerja HAM lokal maupun Internasional memperkirakan bahwa sedikitnya 100. 000 Orang Papua telah terbunuh oleh kekuatan Militer Indonesia.

Minimnya Keadilan bagi Korban Operasi Militer

Sampai saat ini belum ada kepastian menyangkut advokasi serta pengadilan terhadap semua pelaku operasi yang telah merampas HAM dan mengorbankan banyak rakyat West Papua itu. Negara dan rezim penindas di Indonesia memang tidak punya kepentingan bagi penegakan keadilan terhadap korban-korban pelanggaran HAM. Justru sebaliknya pelanggaran HAM dan militerisme adalah penopang bagi penghisapan dan penindasan terhadap West Papua. Hanya lewat pelanggaran HAM dan militerisme pula West Papua bisa diinjak kedaulatannya dan dicaplok ke dalam NKRI. Selama berada di bawah pendudukan militerisme dan penghisapan rezim kapitalis Indonesia, sejarah West Papua penuh derita rakyat, besarnya korban tewas akibat NKRI, pedihnya kesengsaraan akibat pemenjaraan, pengungsian, trauma penangkapan, interogasi, penganiayaan, dan pemerkosaan.

Semua korban dari hasil Operasi Militer itu; kurang bahkan jarang sekali mendapatkan keadilan, kebenaran, kepastian, kejujuran bahkan sampai pembelaan terhadap mereka belum mengenainya.

Ada tanggapan Human Rights Watch, Andreas Harsono terhadap semua korban masyarakat papua akibat Operasi Militer di West Papua. Bunyinya demikian: “TNI dan POLRI menembak masyarakat West Papua itu kategorinya pelanggaran HAM. Karena, Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Perang mengatakan kombatan berhadapan kepada bukan kombatan. Sedangkan OPM dan TNI/POLRI baku tembak dan salah satunya mati di tangan musuh. Itu masuk pada kategorinya bukan pelanggaran HAM. Sebab, TNI/POLRI dan OPM adalah sama-sama kombatan dan pelaku yang memiliki senjata”.

Setelah mendengar seruannya demikian, kita penting amati dan renungkan diri. Usahanya, dari Hukum untuk mendapatkan tempat pengadvokasian serta pengadilan yang jelas pun belum terlaksana dengan baik.

Demikianlah biasnya hukum di negara penindas dan rezim kapitalis di Indonesia ini. Orang-orang West Papua sangat sulit dan hampir mustahil untuk mendapatkan keadilan, kejujuran, kebenaran, penghormatan dan penghargaan. Selama hal demikian masih menindas mereka, rakyat tertindas khususnya West Papua tidak pernah mendapatkan hukum yang adil.

Hukum NKRI yang sangat karat dan penuh rancu bahkan sering juga berlaku tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kadang pantas juga disebut ini hukum milik kaum berada. Sedangkan rakyat tertindas tetap berada di bawah ketertindasan. Belum pernah ada upaya dari hukum itu untuk menegakkan mereka yang tertindas itu. Sebaliknya justru hukum itu sering menyingkirkan dan mengkriminalisasi rakyat. Salah satu buktinya Obby Kogoya yang jadi korban serangan rasis bukannya malah dibela justru malah dihukum.

Tiada hentinya kita menyerukan agar pelaku diusut tuntas dan segera diadili sesuai hukum yang berlaku. Namun bukan hanya hukumnya tidak adil dan pengadilannya tidak bersih. Bahkan untuk turun ke jalan meneriakkan hak-hak saja sudah mengalami sangat banyak pemberangusan ruang Demokrasi. Sangat disayangkan. Berarti telah di pastikan bahwa, semua tindakan dan pembungkaman itu sudah tercermin dalam pengabaian kejujuran, keadilan, dan kebenaran serta kuatnya imunitas yang hakiki dalam hukum NKRI itu sendiri.

Hukum negara penindas memang akan lebih melindungi dan mengayomi para penindas. Hukum negara penjajah memang akan lebih lebih melindungi dan mengayomi para penjajah. Jelaslah keyakinan dan kepastian hukum NKRI bagi rakyat papua sudah usang. Penegakan hukum dan perlindungan HAM saja tidak pernah jelas. Maka keadilan sejati bagi rakyat West Papua tidak akan pernah tegak selama masih dalam penindasan, penghisapan, dan penjajahan NKRI. Keadilan sejati ada pada kemerdekaan dari tirani.

 

 

ditulis oleh Piet Yobee Nomouyebi, intelektual dan Pemuda Dogiyai

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: