DiskusiPerempuan dan LGBTReportase

Politik Dibalik Hari Kartini

Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April selama ini digambarkan sebagai hari perayaan perjuangan perempuan Indonesia. Penetapan ini dimulai sejak tanggal 2 Mei 1964, saat Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional serta menetapkan hari lahir Kartini sebagai hari besar untuk diperingati setiap tahunnya.

Komite Perjuangan Perempuan (KPP) Yogyakarta mengagendakan diskusi “politik dibalik hari kartini” dengan maksud melacak kembali isu-isu permasalahan perempuan secara lintas zaman. Pertama, pada zaman kolonial dan mengupas pemikiran yang dituliskan Kartini pada masa itu. Kedua, situasi saat keppres ditetapkan pada tahun 1964. Ketiga, kondisi pada masa represi rezim orde baru. Terakhir, persoalan politik secara umum dan situasi gerakan perempuan dari tahun-tahun tersebut dapat menjadi bekal untuk dikomparasikan dengan kondisi gerakan perempuan masa kini.

Gagasan Kartini Melawan Kolonialisme, Feodalisme dan Perjuangan Pembebasan Perempuan

Dalam karya Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, dijelaskan bahwa peran Kartini pada masanya sangat besar dalam membangkitkan kesadaran untuk menggugat feodalisme dan kolonialisme. Terlebih, Kartini sendiri menegaskan bahwa “Tujuan adalah Rakyat”. Gagasan Kartini melawan kolonialisme dan feodalisme ini membawa Kartini termasuk ke dalam perempuan yang mampu meletakan pondasi dasar kemajuan bangsa. Kartini mampu dengan rinci memahami dan menjelaskan karakter masyarakat Indonesia, lalu menuliskannya. Sehingga jejaknya pemikirannya bisa ditinggalkan melalui karya tulisannya. Inilah yang membuat Kartini unggul diantara perempuan-perempuan yang lain.

Hanya saja di tengah kondisi feodalisme pada masa itu, kekuasaan dan kekuatan Kartini bisa dikatakan hanya terbatas di bidang moral dan melawannya melalui karya tulisan. Hal ini karena ia tidak memiliki alat untuk mewujudkan konsep-konsep pemikirannya dan bahkan boleh dikatakan bahwa segala pihak menentangnya. Refleksi kondisi pada masa itu adalah bahwa Kartini berdiri sendirian, tanpa ada suatu dukungan organisasi massa yang waktu itu memang belum lahir. Sistem Feodalisme pada masa itu membuat Kartini sebagai seorang perempuan yang lahir dan dibesarkan dari golongan ningrat tidak mampu bergerak sampai membangun sebuah alat perlawanan. Langkah Kartini terbatas, kemanapun Kartini pergi harus beserta dengan pengawalnya.

Perdebatan yang kerap terjadi juga didukung dengan alasan Kartini tidak mampu melawan Ayahnya yang memaksanya menikahi seorang laki-laki yang tidak dikenal dan melanggengkan poligami. Diakui atau tidak, dalam budaya patriarki ayah adalah hukum yang berlaku di dalam keluarga. Namun, tidak merepresentasikan bahwa Kartini seorang perempuan yang tidak membawa gagasan anti feodalisme. Keputusan Kartini menerima paksaan dari Ayahnya adalah karena rasa cinta yang mendalam terhadap Ayahnya.

Hal ini menunjukan sangat lemahnya posisinya sebagai pribumi di bawah jajahan koloni. Dia menyadari penjajahan saudara dari bangsawan pribumi terhadap rakyat jelata. Namun, Kartini sadar dan ini yang kemudian menjadi penting dalam perdebatan sosok kartini adalah Kartini mempunyai kesadaran mengenai ketidak berdayaan perempuan di lingkungan penjajahan, yang berkelindan dengan kesadaran sosial feodal. Ahirnya, menuliskan gagasannyalah yang mampu ia perbuat di tengah kondisinya pada masa itu yang tidak ada demokrasi di dalam kehidupannya.

Gagasan Kartini yang terwujud dalam bentuk tulis-menulis ini juga yangg ahirnya menjadi salah satu inspirasi dari tokoh pergerakan Nasional Tirto Adhi Soeryo (TAS). TAS yang pada ahirnya menjadi tokoh yang membangkitkan pergerakan nasional melalui media (tulis menulis) dan sebuah alat bernama organisasi. Gagasan Kartini selain membicarakan bagaimana kejamnya kolonialisme dan feodalisme, juga kartini menggagas ide-ide perjuangan pembebasan perempuan. Ide-ide tersebut termasuk adalah hak pendidikan bagi perempuan.

Kartini sadar bahwa pendidikan menjadi sebuah kebutuhan bagi perempuan dan rakyat tanpa memandang kelas dan jenis kelamin. Sebagai perempuan ningrat, kartini memiliki keistimewaan yang tidak didapatkan oleh perempuan jelata lainnya. Ia bersyukur mendapat kesempatan untuk menikmati terang ilmu pengetahuan di sekolah belanda, setidaknya itulah yang terungkap dalam salah satu suratnya dan membuat dia sadar kebutuhan pendidikan. Bagi kartini, Pendidikan merupakan sokoguru bagi sebuah bangsa, perempuan adalah tiang penyangga, maka perempuan harus berpendidikan, serta kelahiran selalu dimulai dari rahim seorang perempuan.

“perempuan sebagai pendukung peradaban! Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar, yang baik atau buruk akan berakibat besar bagi kehidupan : bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia…dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima belajar merasa, berfikir, dan berkata-kata… dan bagaimanakah ibu-ibu bumiputera dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?”

Jika melihat dari gagasan Kartini dan kondisi pada jaman itu maka Kartini adalah yang terbaik pada zamannya. Dia melambangkan kebangkitan dari kaum perempuan yang tertidur di atas pijakan konservatisme feodal. Menjadi dapat dimaklumi ketika Kartini memulainya dengan Pendidikan atas landasan keterasingan kaum perempuan dalam produksi kehidupan sosial, maka tereliminasi pula hak-hak pribadinya. Serta Kartini mampu menuliskan gagasannya sehingga bisa menjadi buah pemikiran gagasan perjuangan pembebasan perempuan. Tanpa merendahkan pahlawan-pahlawan perempuan lain yang langsung turun bergerak dalam sebuah alat perlawanan.

Soekarno dan Kepres No. 108 Tahun 1964

Perdebatan gagasan Kartini sudah bermula dari awal abad 20. Pergulatan Kartini sudah sangat kosmopolit dari melakukan surat menyurat. Ketika tahun 1922 buku Gelap Terbitlah Terang buku Kartini yang pertama diterbitkan oleh pihak penyusun Abedannoen ada satu proses yang menyatakan bahwa ada surat-surat dari Kartini yang ditujukan kepada menteri urusan agama dan budaya pada 1904 dan membawa pada perdebatan. Perdebatan ini dikarenakan ada tuduhan surat-surat Kartini bukanlah tulisan Kartini.

Perdebatan seperti ini pula yang membawa pada “kecurigaan” bahwa memunculkan Kartini merupakan bagian dari politik etis. Kecurigaan politik etis ini berlandaskan pada tulisan kartini yang menggunakan bahasa Belanda yang sangat baik. Kaunggulannya dalam menguasai bahasa belanda, kartini yang mendapat kesempatan yang tidak dimiliki perempuan pada zamannya untuk melahap buku-buku eropa, yang kemudian berkontribusi terhadap perkembangan pemikirannya. Beberapa karya yang paling berpengaruh dalam perputaran hidup Kartini antara lain Max havelaar dan Minnebrieven. Sehingga, anggapan dari mulai Kartini bukan yang menuliskannya hingga anggapan Kartini membawa ide-ide dari baratlah yang menjadi stigma yang melekat pada perdebatan Kartini.

Pada tahun 1964 Soekarno menetapkan Kartini sebagai simbol perempuan dan diperingati kelahirnnya menjadi hari Nasional dan bisa dibilang sebagai tonggak hari perempuan diluar hari Ibu (22 Desember). Pada tahun 1953 Soekarno juga menetapkan hari Ibu. Ini menjadi rangkaian dari tahun 1928 (kongres perempuan pertama) dan Kongres Pemuda Indonesia.  Saat Kongres Perempuan tahun 1938 juga sudah diperingati hari emansipasi perempuan sekaigus mengenang Kartini sebagai tokon emansipari perempuan. Maka, jika dilihat dari geeologi gerakan, ada keterikatan dari surat-surat Kartini yang artinya gagasan Kartini untuk generasi pada era rezim ini.

Tahun 1953 maksud Soekarno menetapkan hari Ibu sebagai tonggak hari perempuan . Ada pandangan Soekarno sedang mengambil hati gerakan perempuan pada masa itu. Karena Soekarno melanggengkan budaya patriarki dengan poligami. Meskipun poligami yang dilakukan Soekarno menjadi perdebatan di kalangan gerakan perempuan. Sampai ahirnya tahun 1964 Kepres untuk hari Kartini diterbitkan. Terlepas dari poligami yang dilakukan Soekarno, jika melihat rangkaian sejarah gerakan pada tahun 1964-1965 ada gagasan Soekarno tentang persatuan melawan Kolonialisme dengan menyatukan gerakan menjadi NASAKOM.

Soekarno melihat bahwa gerakan perempuan pada masa itu juga harus terlibat aktif dalam perlawanan melawan kolonialisme. Sehingga, Kartini yang direpresentasikan sebagai perempuan yang memiliki gagasan perlawanan kolonialisme dan banyak gerakan perempuan pada masa itu yang mengambil gagasan Kartini. Soekarno menghadiahkan Kepres untuk para gerakan permepuan pada masa itu. Tapi juga ada kepentingan politik bahwa semua organisasi termasuk perempuan sudah berbicara soal isu nasional. Karena pada masa itu juga sedang gencar-gencarnya isu Irian barat, Ganyang Malaysia, dan lain-lain.

Pada masa Soekarno, ada kelompok gerakan perempuan yang dianalisa dari program dan gagasan adalah gerakan perempuan yang membawa massa kebangkitan gerakan perempuan. Gerwani sebagai pelopor bahwa gerakan perempuan harus berdiri di tengah-tengah massa. Bagaimana Gerwani menggerakan lagi isu-isu yang melibatkan massa secara luas dan pada tahun 50/60an ini membawa gerakan perempuan sudah masuk ke ranah-ranah seperti hak anak, gerakan massa, gerakan pemberantasan buta huruf, dan lain-lain. Meskipun, Gerwani juga mempunyai celah yang patut dikritisi tentang kenapa tidak menolak poligami yang dilakukan Soekarno.

Gerwani sebagai pelopor gerakan perempuan yang memiliki prinsip dan praktek yang bisa terlihat. Seperti dalam prakteknya memanfaatkan pertemuan-pertemuan perempuan di RT untuk membicarakan masalah-masalah perempuan. Outputnya dari hasil pertemuan adalah seperti membuat sekolah, tempat penitipan anak, pendidikan Ibu dan anak, dan lainnyan tanpa meninggalkan metode mobilisasi massa. Dahulu, hal-hal seperti kursus menjahit, memasak, menjadi pintu masuk Gerwani agar perempuan bisa bertemu dan melakukan pendidikan lebih mudah, untuk menarik juga mereka menggunakan sertifikat.

Gagasan Kartini dan Gerakan Perempuan Dibawah Rezim orde Baru

Pasca tumbangnya Soekarno juga dibarengi dengan diberangusnya Gerwani dengan landasan antek-antek PKI. Maka, gagasan gerakan perempuan pun mengalami degradasi, bahkan bisa dikatakan hilang, apalagi konsep pemikiran Kartini. Pada rezim Soeharto ini artikulasi seorang Kartini ada dua, yaitu model seorang Kartini sebagai perempuan penurut di rumah, menjadi Ibu di keluarga, emansipasi boleh tapi berkutat pada social, masuk ke struktur hirarki yang melekat pada peran suami yang ditonjolkan. Ini menjadi model state Ibuisme. Atau menjadi Kartini yang maniak dan terstigma menjadi perempuan gila yang ahirnya di Gerwanikan.

Inilah yang terbawa saat orde baru. Kuatnya Ibuisme pada orba menjadikan Hari Kartini menjadi sangat aktivisial. Diktator ulung Soeharto melakukan penggalian terhadap sejarah peran perempuan zaman feodalisme dalam bingkai budaya patriarki. Gerakan perempuan semacam Gerwani di kambingkan hitamkan sebagai laknat dan tidak beradab. Perempuan sejati indonesia adalah perempuan yang patuh mengayomi, figuran yang menonjolkan para pemeran utama. Ideologi ibuisme ala orde baru mengembalikan perempuan kedalam ranah domestik, dengan pujian manis sebagai tiang negara, dengan makna tersirat sebagai yang bertanggung jawab terhadap kehancuran negara. Gerakan perempuan mengalami deideologisasi dan depolitisasi. Termasuk menjadikan Kartini sebagais sosok ibuisme.

Gagasan Kartini dan Gerakan Perempuan Di bawah Rezim Era Reformasi

Zaman reformasi meniupkan kembali sedikit angin segar pada gerakan demokratik. Ahirnya, Lembaga Swadaya Masyarakat dan founding yang sebelumnya dimanfaatkan untuk mengalihkan tanggung jawab negara kini menjadi salah satu kekuatan yang melahirkan embrio kebangkitan perempuan. Gaung kesetaraan mulai digemakan oleh berbagai kalangan, sambil memanggil keluar perempuan dari ranah domestik dengan maraknya organisasi perempuan. Ada capaian memang, namun kondisi perempuan tidak banyak beranjak dari tempatnya. Dia masih berbeban ganda, dia masih penderita utama.

Jika dikritisi lebih jauh, fundingisme atau gerakan LSMisme ini yang membubarkan pembangunan basis massa, karena program hanya sebatas pada project. Mayoritas organisasi perempuan saat ini berubah menjadi LSM/NGO : tidak ada ideologi dan arah pembangunan massa. Sehingga gerakan perempuan hari ini jika dilihat dari landasan situasi politik yang demokratik lebih mundur dari gerakan perempuan saat masa Soekarno.

Gagasan Kartini atau perlawanan yang dilakukan Kartini pada massanya dan Gerwani sebagai gerakan perempuan yang maju, masih relevan dengan situasi atau masalah perempuan hari ini. Meskipun, tidak sepenuhnya relevan dan harus ditiru sama yang ahirnya akan mengakibatkan patronase. Jika pada tahun 1930-1940 perempuan pada saat itu sudah berbicara UU perkawinan demokratis. Sampai hari ini UU perkawainan yang ada juga tidak demokratis. Misalnya anak Indonesia boleh menikah di usia 16 tahun, padahal di UU lain ada kriteria usia anak 0-18 tahun. Selain itu, UU perkawinan saat ini sangat patriarki : kepala keluarga adalah laki-laki.

Kasus semacam inilah yang masih belum mampu dipecahkan di tengah kondisi organisasi perempuan yang menjamur hari ini. Data perkawinan anak Daerah Istimewa Yogyakarta dalam satu tahun sekitar 300 anak/remaja harus melakukan pernikahan mayoritas karena KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan). Ini persoalan yang kerap Kartini dulu alami. Bahkan Kartini meninggal dalam kondisi pasca melahirkan. Artinya akses kesehatan untuk perempuan sudah menjadi masalah dari jaman Kartini. Juga bagaimana pendidikan kesehatan reproduksi yang belum diberikan secara koprehensif oleh Negara.

Juga dalam hal pendidikan umum, secara kuantitatif pendidikan terlihat sama laki-laki dan perempuan, akan tetapi hari ini angka buta huruf juga masih dikuasai oleh perempuan.  Stereotyhpe juga akan semakin terlihat ketika dihadapkan pada dunia kerja, masih ada stereothype yang merugikan kaum perempuan.

Pemerintahan pasca Soeharto, mulai dari Habibie sampai pada Jokowi hari ini, masih mempertahankan karakter orde baru sebagai agen kapitalisme yang loyal. Aset negara dibawah pemerintahan komprador terus bertransformasi menjadi milik perorangan melalui segala bentuk kebijakan yang menghalalkan kebebasan berinvestasi dan privatisasi bidang infrastruktur yang memengaruhi hajat hidup orang banyak. Bahkan hari ini, gaung anti demokrasi mulai  nampak lagi ke permukaan yang dikuasai oleh kelompok intoleran.

Dibawah kekuasan Jokowi hari ini, represifitas dan kriminalisasi makin kerap terjadi. Mulai dari pemberangusan diskusi, kriminalisasi aktivis, mahasiswa, lembag hukum, yang tak kenal jenis kelamin karena melakukan aksi PP Pengupahan No. 78, dan lain-lain. Yang tak terlewatkan juga represifitas yang dialami oleh gerakan perempuan.

Jika ditarik pada akar permasalahan yang meimpa perempuan hari ini hingga ke elemen rakyat lainnya, ada satu sistem besar yang menyelimuti yakni kapitalisme. Selama sistem kapitaisme masih langgeng, maka perempuan terlebih kalangan perempuan miskin masih menjadi korban yang mengalami penindasan ganda. Bagaimana tidak, ketika hampir semua bahan komoditi mulai dari bahan pangan, pakaian, transportasi, pendidikan dan kesehatan mengalami kenaikan harga yang sulit dijangkau oleh golongan kelas miskin. Pengangguran meningkat mencapai 4 juta orang. 175 juta Ha tanah didominasi oleh kapitalis swasta, setara dengan 91% area lahan Indonesia. Kekayaan minyak dan gas dikuasai sebanyak 90%, 89% mineral dan 75% batu bara, dieksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan di negara maju.

Menjadi cukup jelas dampaknya menimpa rakyat miskin, terutama perempuan miskin yang sebelumnya terbelenggu patriarki. 10 juta perempuan muda mengalami anemia karena kekurangan gizi, 11,8 juta perempuan melahirkan bayi prematur. Di jakarta, perempuan yang mengalami PHK mencapai 88% dari total pengangguran. Ketika angka buta huruf Indonesia mencapai 9,7 juta jiwa, 65% diantaranya adalah perempuan.

Penutup

Mengaca dari sejarah, jika bertanya politik di balik hari kartini dan menganalisanya dari tiap rezim. Maka, bagaimana pandangan rezim terhadap sistem akan membawa pengaruh pada gerakan perempuan. Di Indonesia,  pernah berada pada rezim yang telah membuat mundurnya gerakan perempuan hari ini. Rezim yang membuahkan benih perkawinan mesra antara patriarki dan sistem ekonomi kapitalisme, dimana keduanya tidak terpisah. Maka tidak seharusnya kapitalisme dan patriarki dipisahkan dalam pemahaman gerakan akar permasalahan hususnya bagi gerakan perempuan dan demokratik di Indonesia.

Perjuangan bagi pembebasan perempuan bersifat universal. Sebagai perempuan, ia di belenggu oleh Patriarki yang sudah sangat mengakar, ditambah sistem ekonomi kapitalisme yang hanya memberikan hadiah kerja keras untuk kebutuhan bertahan  hidup miskin. Kompleksitas perempuan Indonesia hari ini tentu cukup berbeda dengan era Kartini. Jika Kartini pada zamannya melawan kolonialisme dan feodalisme. Hari ini sistem ekonomi liberal atau kapitalisme menjadi hal yang harus dilawan juga dengan perlawanan terhadap patriarki.

Namun, bukan berati menegasikan gagasan Kartini tidak relevan pada hari ini. Bagaimanapun juga Kartini telah memenuhi panggilan zaman dan gagasan pemikirannya masih ada yang cukup relevan untuk diperjuangkan hari ini. Kartini tetaplah telah berperan dengan sebaik-baik pada masanya dan meninggalkan gagasan pemikirannya melalui tulisan. Sosoknya menjadi pelopor, namun strategi dan taktik perjuangannya juga tidak tepat jika untuk di duplikasi secara utuh.

Artinya, gerakan perempuan memiliki strategi perjuangan yang berkesesuaian dengan perkembangan zaman yang menitipkan kompleksitas modernisasi di bawah setiap rezim yang berkuasa. Sejarah menjadi acuan untuk merumuskan, bukan untuk patronase dalam bertindak. Kekuatan Kapitalisme hari ini adalah musuh dari semua rakyat tanpa mengenal jenis kelamin namun mengenal sistem kelas. Oleh karena itu, menjadi jelas bagi kita bagaimana semunya perjuangan pembebasan tanpa keterlibatan perempuan. Juga perjuangan pembebasan perempuan tidak mampu berdiri sendiri, melainnkan perjuangan bersama elemen tertindas lainnya.

Selamat ulang tahun Kartini. Hidup perempuan yang melawan!!!

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comments (1)

  1. […] Politik Dibalik Hari Kartini – arahjuang […]

Comment here

%d blogger menyukai ini: