Kebudayaan

Pikiran Punya Hukum Sendiri

“Punya buku Nyanyi Sunyi-nya Pram?” seorang mahasiswa bertanya kepada kawanya yang aktivis, dengan berbisik-bisik. “Aku pengin beli. Kopiannya juga mau,” sambungnya dengan bersungguh-sungguh. Dalam kereta senja ekonomi Jakarta-Solo seorang bapak meminjam buku memoar Oei Tjoe Tat yang sedang aku tekuri. Kemudian bertanya padaku dengan pandangan terheran-heran : “Apakah buku ini tidak dilarang oleh pemerintah ?”. Aku menelan ludah yang mendadak terasa pahit demi mendengar pertanyaan bapak tadi. Pertanyaan khas seorang warga negara yang terbiasa hidup dalam kontrol. Sensor. Sehingga ketika sedang tidak disensorpun ia tetap melakukannya. Menyensor diri sendiri!

Tapi benarkah pikiran betul-betul bisa dikontrol? Untuk sementara mungkin saja, tapi selamanya? Kita memang sering menyaksikan bagaimana orang-orang diseret ke pengadilan (setelah dianiaya!) karena pikiran-pikiran yang dikemukakannya. Karena pikirannya yang bertentangan dengan pikiran resmi penguasa. Berdiskusi di kampus dibubarkan. Berdemonstrasi tertib dan damai dipukuli. Menuntut pembentukan organisasi buruh independen ditangkap dan diintimidasi bahkan dipenjarakan. Orang-orang yang berani memang bisa dipenjarakan. Tapi keberanian tak bisa dipenjarakan. Sejarah penuh deretan contoh.

Selama menantikan pelaksaan hukuman matinya dalam sel penjara di Front Santiago Manila, Jose Rizal berhasil menyelundupkan syair yang ditulisnya Mi Ultimo Adios keluar penjara, dalam sebuah lampu alkohol yang dia berikan kepada isteri dan saudara perempuannya, pada hari ketika Rizal digiring ke tempat penghukuman mati (30 Desember 1896). Katanya, “Selamat tinggal,Tanah Air tercinta, kau mutiara dikecup matahari/Dari Laut Timur, sorga kita rebah/ Dengan riang kini kuserahkan hidupku papa kepadamu/ dan jika pun hidup cemerlang, segar dan remaja/’Kan kubaringkan juga ia untuk bahagiamu/ Betapa indah untuk jatuh tersungkur/Agar kau dapat bangkit, betapa manis ajal agar kau Dapat Hidup.”

Badan Jose Rizal musnah tetapi jiwanya tetap hidup menggelora dalam hati rakyatnya. Orang militan bisa dipenjarakan. Tetapi kekuatan manakah yang bisa mengkerangkeng militansi? Franqois Marie Arout atau yang lebih kita kenal nama samarannya Voltaire (1694-1778), filsuf dan ahli sejarah serta salah seorang pelopor pelaku Revolusi Perancis. Ketika mendekam dalam penjara Bastille selama setahun karena kritik-kritik politiknya terhadap ancien regime. Bukannya dia tunduk atau menghiba minta ampun penguasa tapi ia justru menulis sajak-sajak kepahlawanan Henriade. Disamping sebagai seorang pendekar politik Voltaire juga banyak melahirkan karya-karya sastra. Konon seluruh tulisannya kalau disusun jadi satu buku mungkin tebalnya lebih dari 30.000 halaman! Terdiri dari sajak kepahlawanan, lirik, novel, cerpen, drama, dan buku-buku serius semacam sejarah dan filsafat. Dia juga dikenal sebagaiseorang intelektual yang rajin menulis surat. Kesemua suratnya senantiasa ditutupnya dengan kalimat “Ecrasez l’infame!” yang maknanya “Ganyang barang brengsek itu!”. Voltaire menghabiskan sebagaian umurnya dari penjara ke penjara.

Ketika dijebloskan ke Robben Island –sebuah pulau dikepung samudera luas yang diubah jadi penjara dengan penjagaan yang sangat ketat– karena aktivitas-aktivitas revolusionernya, Nelson Mandel memperlihatkan kepada kita sungguh mustahil membungkam rakyat tertindas yang menginginkan kemerdekaan. Kendatipun antara satu tawanan dengan tawanan yang lain saling diisolasi. Toh mereka dengan cara-caranya yang ajaib tetap bisa saling berhubungan. Salah satu caranya, ungkap Mandela dalam otobiografinya, Perjalanan Panjang Menuju Kebebasan, adalah menuliskan pesan dengan bertintakan susu. Susu itu akan segera kering dan kertasnya akan kelihatan kosong. Tetapi bahan desinfektan yang diberikan untuk membersihkan sel-sel, kalau dicipratkan pada susu kering itu akan membuat tulisannya terlihat.

Cara lainnya adalah menulis dengan tulisan kecil dan bersandi di atas kertas tisu toilet. Dengan begitu akan gampang disembunyikan sehingga pesan-pesan bisa diselundupkan. “Tidak ada kekuasaan di atas dunia ini yang dapat menghentikan rakyat yang tertindas yang sudah bertekad memperoleh kemerdekaan”, seru pemimpin rakyat Afrika Selatan ini dengan lantang. Dan mungkin sudah kita ketahui bersama, otobiografi Mandela Perjalanan Panjang Menuju Kebebasan setebal 632 halaman itu, sebagian besar ditulis ketika ia sendang meringkuk menjalani hukumannya di Robben Island (Nyanyi Sunyi-nya Pram juga ditulis ketika ia sedang menjalani hukuman kerja paksa di pulau Buru!).

Mandela membeberkan “proses kreatif”-nya: “Saya bekerja sepanjang malam dan tidur pada siang hari. Setelah satu atau dua minggu pertama, saya akan tidur sebentar setelah makan malam, bangun pada pukul setengah sepuluh malam dan menulis hingga saat sarapan tiba.Setelah bekerja paksa di tambang, saya kemudian tidur sampai makan malam. Dan prosesnya akan berulang lagi”, ungkap Mandela. Nampaknya bagi Mandela tak ada bedanya antara menulis dan berjuang. Menulis dan berjuang adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Karena itu resikonyapun sama. Bila tertangkap dihukum. Tapi berkat usaha kawan-kawan sepenjaranya naskah tulisannya bisa diselamatkan. Mereka menyembunyikan di lapangan penjara. Mereka menggali dan untuk sementara mengubur naskah itu dalam tanah.

Atas nama hukum buku bisa dilarang beredar. Namun kita semua tahu pikiran punya hukum perkembangan sendiri. Dan sejarah telah meberi fasilitas kepada kita, mesin fotokopi, internet, dan sekian jenis teknologi cetak lainnya, yang kebal SK. Buku Pram dilarang beredar di sini tapi di Malaysia justru dijadikan bacaan wajib untuk studen-studen.

Dan di berbagai negara konon bukunya terus diterjemahkan ke dalam 20 bahasa lebih. Dan dibaca! Di negeri kita AJI (Aliansi Jurnalis Independen) oleh penguasa dianggap sebagai organisasi liar. Namun ini terus mendapatkan undangan-undangan untuk berbicara di forum-forum jurnalis inter nasional di luar negeri. Bahkan di kalangan jurnalis internasional mereka disambut hangat. Siapa bisa melarang? Marsinah dibunuh? Dunia internasional bereaksi keras. Berbagai organisasi perburuhan melayangkan surat protes ke pemerintah.

Indonesia. Siapa bisa mencegah? Militer memuntahkan peluru di Dili Timor Timur. Darah menyembur, nyawa melayang. Rakyat Papua yang ingin merdeka disiksa. Bahkan konon ada yang direbus! Kedubes Indonesia di luar negeri dikutuk oleh masyarakat internasional dan diguncang demonstrasi.

Kekuatan mana yang akan bisa membungkamnya? Tidak ada. Karena dunia memang tidak sedaun kelor. Penyanyi yang menyuarakan kebenaran bisa ditembak atau diseret ke tiang gantungan. Tapi kebenaran akan terus hidup. Nyanyiannya akan terus berkumandang selama zaman masih menghendakinya. Karena itu melarang buku-buku adalah tindakan menggelikan. Sebab ada hukum yang tak terbantahkan; di mana ada penguasa lalim, di situ pasti lahir pula para pembangkang yang siap untuk menggulingkannya.

Pada suatu malam. Dalam bis yang melaju dari Yogya ke Solo aku nonton televisi. Acaranya warta berita. Reporter stasiun swasta (RCTI) tersebut bertanya kepada panita Pekan Kesenian Indonesia Tong Tong Sot langsung dari Belanda sana. Dalam acara itu dipamerkan antara lain masakan-masakan khas dan barang-barang kerajinan dari berbagai pelosok tanah air kita. Termasuk buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer (dan karena alasan inilah Kedubes Indonesia menolak tawaran kerja sama panitia). Tanya reporter RCTI:

“Apakah buku-buku Pram juga dilarang beredar di sini?” Dan bule itu menjawab dengan bahasa Indonesia yang fasih, baik dan benar. “O, di negeri Belanda tidak ada buku yang dilarang…” Aku tertawa. Dan ternyata aku tak sendirian. Sebab ada juga penumpang lain yang menutup mulutnya. Karena geli!

Oleh : Wiji Thukul, Koordinator Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER).

Tulisan Wiji Thukul ini disadur dari Ohio University Libraries dengan tajuk “Suara Massa : Kolom Wiji Thukul” yang dipublikasikan pada tahun 1996.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: