Pojok

Korupsi, Partai Kelas Pemodal dan Kapitalisme

anti korupsi

 

Penangkapan banyak petinggi partai yang selama ini justru menggembar-gemborkan moral bahwa mereka adalah partai “bersih dan anti korupsi” semakin menyadarkan rakyat bahwa partai-partai tersebut justru lebih layak diberi cap partai perampok uang rakyat atau partai penipu rakyat ketimbang label partai bersih. Fakta bahwa seluruh partai yang ada saat ini adalah perampok uang rakyat justru dinyatakan sendiri oleh pemerintah.

Akhir September 2012 pihak Sekretariat Negara mengungkapkan bahwa banyak Koruptor Pejabat Negara berasal dari partai-partai yang ada saat ini. Urutannya adalah: Partai Golkar 64 orang (36,36 persen), PDIP 32 orang (18,18 persen), Partai Demokrat 20 orang (11,36 persen), PPP 17 orang (3,97 persen); PKB 9 orang (5,11 persen), PAN 7 orang (3,97 persen), PKS 4 orang (2,27 persen). Jumlah ini belum memasukkan koruptor-koruptor yang baru saja ditahan dan dijadikan tersangka oleh KPK.

Diluar yang ditangkap KPK (karena KPK hanya menangkap koruptor yang mengkorupsi uang rakyat diatas 1 milyar atau boleh ratusan juta asal tertangkap tangan), ada 70% penguasa/kepala daerah (bupati/walikota) yang terlibat dalam korupsi. Padahal, sebagaimana yang sudah dilansir di media massa, penghasilan para kepala daerah (bupati/walikota hingga gubernur) bisa mencapai angka ratusan juta rupiah setiap bulannya secara legal (bukan hasil korupsi). Makanya sungguh tak masuk akal jika pemerintahan SBY justru menjanjikan akan menaikkan gaji pejabat dalam pertemuan kepala daerah beberapa waktu baru lalu.

Bandingkan misalnya dengan penguasa Pemda DKI, Pemda Jabar, Pemda Jatim yang justru meloloskan permintaan penangguhan upah minimum oleh pengusaha. Atau pernyataan SBY, Menaker, Menteri Perindustrian atau bahkan pimpinan Gerindra Prabowo yang tidak setuju dengan kenaikan upah buruh yang tinggi walau upah buruh saat ini baru mencapai rata-rata 1,6 juta – 2 jutaan.

Inilah potret besar penguasa negeri ini: tidak mau melihat rakyat sedikit sejahtera tetapi untuk para pejabat, petinggi partai dan anggota dewan yang sudah bergelimang harta dan hidup mewah malah dianggap penghasilannya masih kurang, sehingga layak terus ditingkatkan gajinya atau bahkan  “diperkenankan” melakukan korupsi. Mengapa seluruh partai yang ada ( dimana semua partai saat ini dikuasai/dipengaruhi pemodal/pengusaha) semuanya melakukan korupsi? Apa yang mendorong mereka tetap melakukan korupsi walau mereka sudah memiliki penghasilan cukup, dan hidup berkecukupan/mewah?

 

Partai politik penopang korupsi dan kapitalisme

Dalam sebuah “Negara demokrasi” seperti yang diklaim dianut Indonesia saat ini, kekuasaan memang seakan tidak absolut karena dapat saling mengkontrol antara lembaga-lembaga kekuasaannya (eksekutif, legislatif, yudikatif) ditambah (seharusnya) kebebasan berorganisasi dan berpendapat. Ini membuat korupsi seakan-akan dijadikan musuh oleh pemerintah. Tetapi negara/pemerintahan ini pun dibangun dari sistem ekonomi akumulasi modal dan berasal dari kekuatan politik partai-partai yang mendasarkan dirinya pada kepentingan kelas-kelas pemilik modal (kapitalisme). Lihat saja elite-elite partai sekarang ini: Anis Matta-PKS, Abu Rizal Bakri-Golkar, Prabowo-Gerindra, Surya Paloh-Nasdem, Hari Tanu/Wiranto-Hanura, Anas/Ibas/SBYDemokrat, Mega/Taufik-PDIP dsb, adalah juga pemodal-pemodal sekaligus kaki-tangan modal-modal asing yang telah mengeksploitasi bumi dan rakyat Indonesia.

Kekuasaan pemilik modal yang segelintir orang ini menyusun landasan pembangunan ideologi/kebudayaan pemilik modal yang menghamba pada akumulasi modal dan kekayaan. Karena dalam kapitalisme, segala sesuatu tak ubahnya barang-dagangan untuk mendatangkan kekayaan bagi individu maupun golongan, yang kemudian juga terjadi dalam bidang politik dan pemerintahan (kekuasaan) itu sendiri. Lembaga-lembaga pemerintahan dan partai-partai politik pun akhirnya menjadi rawan kepentingan pribadi dan sarang pencurian terhadap hak publik/rakyat.

Walau pembentukan negara Indonesia dilandasi oleh Pancasila dan UUD ’45 yang berkeadilan sosial, misalnya, namun dengan kekuasaan pemilik modal, aturan apapun dapat dirubah dan diinterpretasikan sesuai dengan kepentingan mereka. Undang-undang juga dibuat guna melancarkan kepentingan mereka untuk terus merampok sumber kekayaan alam dan seluruh sektor-sektor vital rakyat.

Ini menyebabkan seluruh sektor-sektor penting bagi rakyat bukannya dikontrol oleh rakyat, justru diswastakan, diprivatisasi, bahkan diperbolehkan dikuasai asing. Dari energi-sumberdaya mineral, minyak-gas bumi, perkebunan, pertanian, gula, perdagangan, listrik, kesehatan, pendidikan, bank, asuransi dan lain sebagainya. Dalam Peraturan Presiden no. 36 tahun 2010 misalnya, semua ini diperbolehkan dikuasai oleh swasta termasuk asing hingga mencapai 80-100 persen.

Oleh karena itu wajar jika kemudian semua kekuatan pemilik modal saat ini berlomba-lomba masuk atau mendirikan partai politik, untuk kemudian ikut pemilu, duduk di parlemen dan pemerintahan.Karena hanya berpartai mereka bisa menjadi penguasa, atau karena dekat dengan kekuasaan lah maka para pemilik modal dapat terus membangun kerajaan bisnis, uang dan kekayaannya. Inilah sejarah pengelompokan politik pemilik modal di Indonesia yang hanya bisa kuat karena mengandalkan Negara dan korupsi.

Demikianlah sejatinya tujuan partai-partai pemilik modal didirikan untuk masuk ke parlemen maupun pemerintahan, yaitu guna kepentingan pribadi dan kelompok elitnya, dan bukan untuk kesejahteraan rakyat. Lihat saja fakta bahwa tidak ada satupun partai-partai pemilik modal ini yang berada bersama-sama rakyat berjuang demi kepentingan rakyat. Dalam gerakan buruh yang menaikkan upah tahun 2013 ini misalnya, apakah terdapat sumbangsih dari partaipartai yang ada? TIDAK ADA. Semuanya adalah hasil kerja keras perjuangan buruh sendiri, hasil persatuan perjuangan buruh dengan pengorbanan sebagian buruh yang di PHK, diberangus (union busting/anti-serikat), hingga dikriminalisasi.

 

Pemilu, Korupsi dan Kapitalisme

Korupsi sedari awal tidak terpisahkan dari sistem ekonomi-politik kapitalisme yang dijalankan dengan setia oleh pemerintah Indonesia. Nilai-nilai (ideologi) yang terkandung dalam kapitalisme ini membuat elit (pejabat) dan parpol, seberapapun gaji mereka, (misalnya anggota DPR pendapatan sebulannya antara 35 – 60 juta atau) tetap tidak cukup membiayai kehidupannya (seperti layaknya pemilik modal yang meningkat terus keuntungannya). Mereka ingin punya mobil yang lebih mewah lagi, rumah mewah yang lebih mewah lagi dsb. Jadi bisa dipastikan bahwa korupsi terjadi bukan karena kecilnya gaji para pejabat pemerintah (menteri, gubernur,bupati/walikota, polisi, TNI dan anggota DPR/D).

Contoh yang paling jelas dari gambaran ini bisa terlihat dari kasus korupsi Simulator SIM yang dilakukan oleh Irjen Djoko Susilo. Bayangkan hasil korupsinya yang sudah disita oleh KPK saat ini diperkirakan mencapai 100 Milyar lebih, diantaranya: SPBU, puluhan rumah mewah di berbagai kota, apartemen, 4 mobil mewah dan 6 bus besar.

Korupsi semakin berkembang dan menjadi-jadi ketika partai-partai kelas pemodal yang bekerja layaknya ‘perusahaan politik’ ini ikut serta dalam pemilu dan menciptakan ‘elite-elite’ untuk memperebutkan kekuasaan (pemerintah dan parlemen) demi akumulasi modal mereka. Dalam pengakuan seorang pemimpin parpol lewat suatu acara diskusi terbatas menyatakan bahwa rata-rata modal yang dikeluarkan seorang caleg DPR RI setidaknya 3 sampai 6 milyar untuk memastikan bisa menang menjadi anggota DPR-RI.

‘Biaya politik’ yang besar ini dipergunakan untuk mengilusi (dengan janjijanji), menipu, menyogok (sembako, amplop, dll) serta ‘membeli’ tokoh-tokoh rakyat (pimpinan organisasi buruh/tani/nelayan, pimpinan adat, tokoh agama, artis, dsb) agar mau menjadi agen kepentingan mereka.

Mereka harus membuat pengajian, menyumbang berbagai kegiatan yang dilakukan warga. Mereka pun harus membuat poster, spanduk, leaflet, buku yasin, kalender, jadwal Imsak, ucapan “Selamat Hari Raya, Natal” dan lain-lain untuk menampilkan diri bahwa mereka adalah wakil rakyat yang baik, layak dipilih rakyat. Tak lupa di semua alat-alat kampanye ditulis kata-kata “amanah, jujur, bersih, anti korupsi, layak dipercaya, vokal, pro wong cilik, menciptakan lapangan kerja, pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya”.

Singkatnya, para caleg anti rakyat ini tiba-tiba harus merubah diri seakan-akan pro rakyat. Belum lagi setoran yang harus diberikan ke partai pengurus partai tingkat kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, selain setoran dana disaat kampanye partai. Sehingga ungkapan dana 3 Milyar sebagai modal untuk bisa jadi anggota DPR adalah benar adanya.

Ongkos biaya politik kampanye inilah kemudian yang langsung dikejar untuk bisa kembali saat ia menjadi anggota DPR RI. Sesaat setelah pemilu usai dan telah ada yang terpilih di pemerintahan (eksekutif dan legislatif), kekuatan-kekuatan modal ini jalin-menjalin mencari titik kompromi kepentingan demi pengembalian dan akumulasi modal mereka. Umumnya yang terjadi adalah rencana-rencana kebijakan pro-pemodal serta pembagian jatah proyek maupun kekuasaan (Menteri, Dirut BUMN, atau pos-pos kekuasaan lain) yang dapat dijadikan sarana akumulasi atau kompensasi dari biaya politik yang sudah dikeluarkan.

Dari sinilah muncul korupsi berkelompok dalam bentuk proyek-proyek fiktif, tender fiktif, ataupun mark-up (baca: melebih-lebihkan nilai) anggaran dari proyek-proyek semacam Hambalang yang dilakukan tahu sama tahu diantara sesama elite di DPR, BUMN/perusahaan swasta, maupun Kementerian, yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kekuasaan Presiden, layaknya jaringan mafia.

 

Perlawanan Terhadap Korupsi dan Kapitalisme

Modal membutuhkan negara. Sehingga tidak ada jalan lain bagi para pemodal selain bersentuhan dengan kekuasaan politik yang korup sekalipun, untuk dapat memperlancar dan mengamankan modalnya. Persetubuhan korupsi dengan kapitalisme akhirnya mempercepat konsentrasi modal, dan dapat dengan segera menjadi pemodal besar. Dengan demikian, keberadaan kapitalisme beserta partai-partai penyokong kapitalisme dalam dinamika politik dan pemerintahan itu sendirilah yang menyuburkan korupsi. Sehingga sesungguhnya, demokrasi dalam sistem kapitalisme tidak akan cukup untuk menghapus korupsi, melainkan justru menaburkan benih dan menyuburkannya.

Bagi kita semakin jelas bahwa partai-partai koruptor adalah juga partai-partai yang menyokong kapitalisme. Sehingga secanggih KPK dan aturan yang dibuat (apalagi parpol-parpol pro modal inilah yang membuatnya) korupsi tidak akan lenyap sebelum kapitalisme dihancurkan. Ini dibuktikan di negara-negara kapitalis yang demokrasi nya paling maju sekalipun, korupsi tidak pernah bisa hilang. Para anggota parlemen dapat dibayar bermilyar-milyar agar dapat membuat peraturan yang menguntungkan perusahaan-perusahaan walau harus mengorbankan warga negaranya.

Sehingga berikutnya, perlawanan terhadap korupsi juga harus disatukan dengan perlawanan terhadap kapitalisme. Lebih jauh lagi, perlawanan terhadap korupsi dan kapitalisme ini harus seiring dengan pembangunan partai yang anti kapitalisme, yaitu partai kelas buruh dan rakyat miskin, PARTAI KITA SENDIRI, Partai Sosialis. Kekuasaan negara yang korup sekarang ini harus dikontrol oleh rakyat sadar untuk kemudian menyita/merebut harta-harta hasil korupsi para pejabat atau elite politik dan juga kekayaan Negara lainnya, lalu mengabdikannya bagi kesejahteraan rakyat banyak.

Dalam kekuasaan rakyat inilah korupsi menjadi sangat mungkin dihapuskan, karena nilai uang dan kekayaan bukanlah menjadi ideologi yang dikembangkan, dan karena kekuasaan telah berada dalam kontrol penuh rakyat. Jabatan akan kembali menjadi fungsi sebenarnya (karena dipilih dan dapat diberhentikan langsung oleh rakyat) dibandingkan cara untuk menjadi lebih kaya. Semua kebutuhan sosial akan dapat dinikmati seluruh rakyat siapapun dia: dokter, insinyur, pelajar, tukang kebun, pekerja pabrik, pekerja sosial, pekerja tani, dll. Solidaritas, tolong menolong, kesejahteraankeadilan, demokrasi-kerakyatan (yaitu demokrasi dari bawah) menjadi nilai-nilai yang menggantikan nilai-nilai kapitalisme (kbr)

Pernah diterbitkan dalam Kibar Juang Edisi II (dengan sedikit revisi)

Sumber foto: fotolia.com

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: